Makalah Pendidikan Nasional Sebagai Penunjang Kebudayaan Nasional

  1. Pendahuluan
Pendidikan, baik formal maupun nonformal, adalah sarana untuk pewarisan kebudayaan. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi yang lebih kemudian agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan berkembang, melalui pendidikan.
Sudah lama banyak orang mempertanyakan pendidikan kita, mengapa hasilnya tidak memperkuat dan mengembangkan budaya sendiri, Mengapa bangsa kita mudah larut dalam pengaruh budaya yang datang dari luar? Mengapa budaya asli kita tidak dapat menahan banjir bandang globalisasi yang datang, Pendidikan kita selama ini menjadi sarana pewarisan budaya atau tidak?
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah mewakili kegelisahan para pelaku pendidikan. Pendidikan yang selama ini kita harapkan sebagai upaya pembentukkan perilaku/proses pembudayaan dan penanaman nilai, ternyata tidak berhasil membawa peserta didik dalam mengembangkan sikap dan kebudayaan sendiri, bahkan larut dalam kontak budaya (cultural contact) dengan budaya asing yang belum tentu memiliki nilai yang baik untuk diterapkan dalam lingkungan sekitarnya.
Atas dasar itu, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana peran pendidikan nasional sebagai pengiring kebudayaan nasional, karena secara tidak langsung dalam proses pembelajaran (pendidikan) di sekolah telah terjadi proses pembudayaan kepada peserta didik
  1. Arti Pendidikan dan Kebudayaan
    1. Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Nasional
    2. Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
    3. Pendidikan Nasional menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat 2 adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
      Jadi, pendidikan nasional berakar pada dua nilai, yaitu: nilai-nilai yang bersumber dari agama dan nilai-nilai yang bersumber dari kebudayaan nasional.
      1)     Nilai-nilai Agama.
          walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara Pancasila. Dengan status Negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai yang berlaku. Karena Negara ini adalah Negara Pancasila, maka nilai agama disini diambil dari semua agama yang diakui oleh Negara Indonesia (pancasila). Misalnya nilai agama Islam dapat bersumberkan pada Al-Qur'an dan Hadis, Kristen pada Injil, dan seterusnya.
      2)    Nilai-nilai Kebudayaan Nasional.
          Nilai-nilai Kebudayaan Nasional; dapat berupa gagasan, konsep, tata sosial, sistem nilai, perundangan, perilaku yang menunjukkan jatidiri bangsa Indonesia.
    2.    Pengertian, Jenis, dan Fungsi Kebudayaan
    a.     Pengertian Kebudayaan
        Kebudayaan adalah perwujudan kemampuan manusia sebagai makhluk individu dan sosial mengolah usaha budi dalam menanggapi lingkungannya.
    b.    Jenis Kebudayaan
        1). Dapat Disentuh (Tangible): Candi, Masjid, Gereja, Rumah Adat, Benteng, Makam, Patung, dan sebagainya..
        2).    Tidak Disentuh (Intangible): Gagasan, Konsep, Tata Sosial, Sistem Nilai, Perundangan, Perilaku, dan sebagainya.

    c.    Wujud Kebudayaan
        1). Ide {Gagasan} Sistem Budaya = Adat Istiadat
        2). Aktivitas {Kegiatan} Sosial = Kemasyarakatan
        3). Fisik {Kebendaan} Kebudayaan Kebendaan
    d.    Fungsi Kebudayaan Kebudayaan menjadi garis acuan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara.

    3.     Keterkaitan antara pendidikan dan Kebudayaan
            Tilaar mengemukakan keterkaitan yang sangat erat pendidikan dan kebudayaan. Bahkan kaitan keduanya adalah kaitan ontologis dan epistomologis. Dalam rangka lahirnya etno-nasionalisme, keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan akan semakin menonjol. Di dalam praksis pendidikan untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat demokratis terdapat berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu pendidikan multi-kultural, pendidikan trans-kultural, dan pendidikan inter-kultural.
            Pendidikan inter-kulutural ditekankan kepada eksistensi budaya-budaya atau sub-budaya yang ada. Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam praksis pendidikan selama Orde Baru.
            Bagi masyarakat Indonesia dalam rangka otonomi daerah, model yang tep[at ialah pendidikan multi-kultural. Artinya masing-masing budaya etnis yang ada di dalam masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang. Di dalam pengembangan tersebut tidak ada campur tangan pemerintah, tetapi sepenuhnya menjadi urusan masyarakat pemiliknya. Pemerintah hanya menjaga supaya tidak menjadi benturan budaya yang merugikan. Pemerintah mempunyai tugas menjaga terjadinya perkembangan budaya yang alamiyah dan kemungkinan terjadinya akulturasi atau pengembangan budaya seperti yang dikemukan oleh Levi-Strauss. Di dalam model trans-kultural ada kemungkinan pemerintah mempunyai keinginan untuk memaksakan adanya unsur-unsur yang universal yang harus dilaksanakan oleh semua budaya etnis. Di dalam model inter-kultural yang dipentingkan bukannya perkembangan sub budaya itu sendiri, tetapi bagaimana menjadi interaksi antar sub-budaya sehingga tidak terjadi ketegangan-ketegangan.   
  2. Pendidikan Nasional Sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional
Di atas telah diurai mengenai pendidikan dan kebudayaan, baik dari segi pengertian maupun keterkaitan keduanya dan juga munculnya bentuk/model pendidikan yang berbasis kultural (kebudayaan) sebagaimana yang telah diterangkan oleh H.A.R. Tilaar.
H.A.R Tilaar lebih lanjut menjelaskan mengenai pendidikan multi-kultural bahwa pendidikan multi-kultural dalam masyarakat Indonesia mempunyai berbagai orientasi. Pertama-tama tentunya suatu reorientasi visi pendidikan. Dalam rangka otonomi daerah, pendidikan di daerah haruslah tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya di mana lembaga pendidikan itu berada. Pengetahuan mengenai budaya lokal bagi para pendidik tentunya merupakan syarat.

Dalam hal ini, peran pendidikan nasional sebagai pengiring kebudayaan nasional dapat dicapai melalui proses kegiatan belajar mengajar di sekolah/lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Peserta didik dapat kita kenalkan kebudayaan nasional baik itu berupa ide (gagasan), sistem sosial masyarakat Indonesia atau perilaku/moral/akhlak yang baik. Di samping itu, boleh juga kita kenalkan budaya asing yang tidak melanggar/menyalahi budaya Indonesia, misalnya etos kerja, menjaga kebersihan, ketertiban, sikap toleransi dan lain sebagainya.
Sebagaimana amanat UU Sisdiknas 2003 Pasal 3, fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Pembentukkan watak, peradaban, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan seterusnya, ini merupakan proses pembudayaan yang dilakukan disaat terjadinya kegiatan belajar mengajar.
  1. Analisis dan Kesimpulan
Pendidikan nasional merupakan sarana sebagai penggiring kebudayaan nasional. Di dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah secara tidak langsung terjadi proses pembudayaan nilai-nilai kepada peserta didik. Pembudayaan yang baik akan menghasilkan output peserta didik yang baik pula. Kalau kita tanamkan nilai-nilai kebudayaan nasional, misalnya sikap gotong-royong, maka secara tidak langsung kita telah melestarikan kebudayaan nasional kepada peserta didik.
Menurut H.A.R Tilaar, pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan eksistensial. Kebudayaan dalam pengertian tertentu merupakan proses pendidikan. Dan tidak ada kebudayaan yang statis tetapi yang terus-menerus dalam proses perubahan. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak dapat diredusir hanya sebagai proses yang terjadi dalam lembaga sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Lembaga sekolah yang melaksanakan proses pendidikan (schooling) merupakan bagian dari proses pendidikan yang lebih luas sebagai proses pembudayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui apabila kita menempatkan dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, kita perlu mempunyai suatu gambaran bagaimana proses pendidikan sebagai suatu bagian dari proses pembudayaan tersebut.
    Atas dasar ini, terjadinya krisis nilai pada peserta didik dikarenakan tidak berhasilnya pendidikan sebagai proses pembudayaan. Dalam konteks ini, proses pendidikan tidak harus dilakukan dalam lingkungan sekolah, tapi juga lingkungan keluarga maupun masyarakat dan teknologi.

0 { ADD KOMENTAR }:

Search