Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang

Krisis keuangan global yang terjadi sejak triwulan akhir 2008 tak pelak telah membuat laju aktivitas perekonomian melambat sampai awal tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari awal tahun sampai triwulan III-2008 seakan tidak terlihat karena imbas krisis global tersebut. Lesunya kondisi ekonomi tersebut terus berlanjut hingga awal 2009. Sektor konsumsi masyarakat yang selalu menjadi motor penggerak pertumbuhan turut larut dalam keterperosokan. Faktor daya beli yang melemah akibat kerugian di berbagai sektor ekonomi tak urung membuat masyarakat melakukan penghematan. Di sisi lain melemahnya ekspor berakibat pula pada turunnya produktivitas ekonomi yang pada gilirannya berdampak pula ke daya beli masyarakat. Perbankan pun sebagai urat nadi perekonomian ikut merasakan dampaknya. Sektor riil sebagai penopang utama penyaluran kredit melemah. Dana pihak ketiga sebagai sumber likuiditas sempat merosot. Rentannya industri keuangan dunia sempat pula menerpa perbankan. Walaupun pemerintah meningkatkan threshold nilai tabungan yang dijamin untuk menghindari keluarnya dana masyarakat dari sistem perbankan waktu itu, namun hal tersebut belum cukup ampuh manakala negara-negara tetangga justru menerapkan jaminan penuh terhadap dana nasabahnya. Hal tersebut membuat kondisi likuiditas perbankan terutama bank-bank kecil menjadi rentan. Segmentasi perbankan yang menyebabkan tingginya volatilitas Pasar Uang Antar Bank (PUAB), membuat beberapa bank kecil semakin mengalami kesulitan likuiditas. Ini merupakan respon yang wajar saat itu dimana seluruh bank lebih mengutamakan konsolidasi kekuatan internalnya untuk bertahan dalam kondisi krisis ekonomi global.

Kondisi krisis di atas berangsur-angsur mereda sejak seluruh dunia melakukan kebijakan stimulus fiskal dan melonggarkan kebijakan moneternya termasuk Indonesia. Di sisi fiskal diarahkan untuk memperbesar stimulus perekonomian dengan tetap menjaga prospek kesinambungan fiskal.
Di awal tahun Pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan subsidi seperti subsidi BBM, listrik, pupuk dan subsidi pangan. Berbagai program peningkatan padat karya juga diimplementasikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Selain itu pemerintah juga memberikan keringanan pajak bagi dunia usaha untuk tetap mendorong kegiatan produksi. Sementara itu di sisi moneter, Bank Indonesia telah melonggarkan kebijakannya guna mendorong kegiatan ekonomi dengan tetap menjaga tingkat inflasi pada kisaran yang telah ditetapkan. Selain itu aspek stabilitas sistem keuangan menjadi fokus utama terutama terkait dengan ketidakpastian yang terjadi selama periode krisis sampai triwulan I-2009. Kebijakan lain yaitu dengan meredam kondisi ketidakpastian di pasar keuangan global melalui peningkatan cadangan devisa dan penguatan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT). Berbagai kebijakan di atas mulai terasa sejak triwulan II, disamping mulai meredanya tekanan krisis global sehingga perekonomianpun berangsur membaik, daya beli masyarakat pun mulai meningkat yang tercermin dari pertumbuhan konsumsi yang tinggi. Selain itu stabilitas pasar keuanganpun lambat laun bergerak ke arah positif yang ditandai dengan indikator pasar modal dan pasar uang yang jauh lebih baik dari kondisi awal tahun.
Pencapaian tersebut akhirnya mampu mendorong pemulihan ekonomi Indonesia sehingga dapat tumbuh 4,3% sepanjang tahun. Namun demikian kondisi pertumbuhan tersebut masih menyisakan beberapa tantangan mengingat faktor pendorong utama hanya di sisi konsumsi masyarakat. Sementara di sisi kinerja investasi maupun ekspor belum menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik.

Kondisi perekonomian cukup berpengaruh pada aktivitas sistem pembayaran. Nilai transaksi transfer dana di seluruh sistem pembayaran selama periode laporan mencapai Rp46,4 ribu triliun atau masih lebih rendah 4,2% dibandingkan tahun 2008. Sementara itu aktivitas transaksi tetap meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu mencapai 1,9 miliar transaksi atau naik 14,8%. Penurunan nilai transaksi terbesar dialami oleh transaksi kartu ATM dan kartu debet (account based card). Meskipun demikian dicatat pula adanya peningkatan nilai transaksi kartu kredit.

Berbagai langkah kebijakan juga diambil oleh Bank Indonesia selama tahun 2009 untuk menjaga koridor keamanan dan efisiensi penyelenggaraan sistem pembayaran serta pemenuhan aspek perlindungan konsumen. Produk kebijakan utamanya adalah penerbitan ketentuan baru mengenai penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik atau Electronic Money, inisiasi pengembangan infrastruktur sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II, pembentukan Self Regulation Organization (SRO) dan peningkatan pelayanan jasa perbankan kepada pemerintah. Di sisi lain, terdapat satu poin penting bagi penyelenggaraan sistem pembayaran yaitu dilakukannya penilaian terhadap penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) yang merupakan Systemically Important Payment System (SIPS). Penilaian ini dilakukan dalam rangka FSAP (Financial Sector Assessment Programe), dengan lebih memfokuskan pada aspek kepatuhan penyelenggaraan sistem BI-RTGS terhadap Core Principles for Sistemically Important Payment System (CP SIPS). Dalam satu tahun ke depan, kebijakan dan arah sistem pembayaran akan lebih difokuskan pada area peran dan kinerja Bank Indonesia, serta peningkatan efisiensi dan pengembangan infrastruktur untuk mendukung terwujudnya efisiensi dan keamanan sistem pembayaran secara keseluruhan.

Kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal di tahun 2009 masih menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari kenaikan uang kartal yang diedarkan (UYD) dari sebesar Rp220,8 triliun menjadi Rp244,4 triliun atau meningkat sebesar 10,7%, namun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dari tahun sebelumnya dan tercatat sebagai laju pertumbuhan terendah dalam 5 tahun terakhir. Laju pertumbuhan tersebut mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 26,3%. Perlambatan pertumbuhan UYD tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional (4,5%) paska krisis keuangan global serta rendahnya tingkat inflasi yaitu 2,78%, yang merupakan tingkat terendah dalam satu dekade terakhir. Secara periodik, permintaan kebutuhan uang kartal pada tahun laporan masih dipengaruhi oleh faktor musiman seperti liburan sekolah dan hari raya keagamaan. Sementara itu penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dilaksanakan pada triwulan III tidak berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan uang kartal secara signifikan. Melambatnya peningkatan kebutuhan uang kartal masyarakat juga tercermin dari terjadinya penurunan jumlah uang kartal yang keluar ke masyarakat dan perbankan dari Bank Indonesia (outflow) sebesar 9,3%. Sedangkan aliran uang kartal yang masuk ke Bank Indonesia (inflow) tercatat sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 4,2%. Adapun jumlah pemusnahan uang kartal mengalami penurunan sebesar 29,4% dibandingkan tahun sebelumnya, sehubungan dengan penerapan kebijakan untuk menjaga tingkat ketersediaan uang kas tetap berada dalam kondisi yang cukup terutama dalam rangka menghadapi hari raya keagamaan dan tahun baru.

Selama periode laporan, terdapat berbagai isu strategis di bidang pengedaran uang yang perlu mendapat perhatian, antara lain kesiapan persediaan kas dalam jumlah yang cukup serta pemantauan terhadap kecukupan uang kartal dalam menghadapi Pilpres 2009, hari raya keagamaan, tahun baru, tingkat kelusuhan uang kartal di masyarakat yang cenderung meningkat, penanggulangan pemalsuan uang, dan pemenuhan kebutuhan uang pecahan kecil di daerah-daerah blank-spot. Selain itu, bencana alam yang sempat melanda beberapa wilayah di Indonesia juga menjadi salah satu perhatian yang harus segera ditindaklanjuti dengan kebijakan yang strategis dan tepat sehingga tidak menghambat pemenuhan kebutuhan masyarakat dan perbankan terhadap uang kartal.
Dalam rangka menghadapi isu strategis tersebut dan sesuai dengan misi Bank Indonesia di bidang pengedaran uang, yaitu memenuhi kebutuhan uang kartal dalam jumlah yang cukup, nominal yang sesuai, layak edar, dan tepat waktu, Bank Indonesia menempuh kebijakan yang mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) Ketersediaan Uang Rupiah yang Berkualitas, 2) Layanan Kas Prima, dan 3) Pengedaran Uang yang Aman, Handal, dan Efisien. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang pecahan Rp.2.000 TE 2009; melakukan upaya penanggulangan uang palsu secara preventif dan represif; penanganan operasional dan penyediaan kecukupan uang kartal di wilayah bencana alam, mendorong implementasi fungsi Cash Centre pada perbankan; pengelolaan penyetoran uang logam dalam rangka “koin prita”; serta melakukan penyempurnaan Blue Print Manajemen Pengedaran Uang.

Ke depan, kebutuhan uang kartal di masyarakat diperkirakan masih akan meningkat disertai dengan akan berkembangnya tuntutan stakeholders terhadap kelancaran sistem pengedaran uang. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia akan senantiasa melakukan pengembangan kebijakan pengedaran uang, antara lain melalui perencanaan kebutuhan uang secara komprehensif, meningkatkan peran layanan kas perbankan dalam menyediakan uang pecahan kecil tanpa fee dalam rangka clean money policy serta secara aktif melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi strategi komunikasi melalui edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang ciri-ciri keaslian uang Rupiah. Selain itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan dan mengedarkan uang logam pecahan Rp1.000 dan redesain uang kertas pecahan baru Rp10.000. Dalam rangka mendorong perkembangan e-money sebagai substitusi uang pecahan kecil, akan dilakukan mapping stakeholders pengguna Uang Pecahan Kecil (UPK).

(Ringkasan Eksekutif - Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang 2009)

0 { ADD KOMENTAR }:

Search