BAB 2
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Pemasaran Jasa
Industri jasa pada saat ini merupakan sektor ekonomi yang sangat besar
dan tumbuh sangat pesat. Pertumbuhan tersebut selain diakibatkan oleh
pertumbuhan jenis jasa yang sudah ada sebelumnya, juga disebabkan oleh
munculnya jenis jasa baru, sebagai akibat dari tuntutan dan perkembangan
teknologi. Dipandang dari konteks globalisasi, pesatnya pertumbuhan bisnis jasa
antar negara ditandai dengan meningkatnya intensitas pemasaran lintas negara
serta terjadinya aliansi berbagai penyedia jasa di dunia. Perkembangan tersebut
pada akhirnya mampu memberikan tekanan yang kuat terhadap perombakan
regulasi, khususnya pengenduran proteksi dan pemanfaatan teknologi baru yang
secara langsung akan berdampak kepada menguatnya kompetisi dalam industri
(Lovelock, 2004 : 2). Kondisi ini secara langsung menghadapkan para pelaku
bisnis kepada permasalahan persaingan usaha yang semakin tinggi. Mereka
dituntut untuk mampu mengidentifikasikan bentuk persaingan yang akan dihadapi,
menetapkan berbagai standar kinerjanya serta mengenali secara baik para
pesaingnya.
Dinamika yang terjadi pada sektor jasa terlihat dari perkembangan
berbagai industri seperti perbankan, asuransi, penerbangan, telekomunikasi, retail,
konsultan dan pengacara. Selain itu terlihat juga dari maraknya organisasi nirlaba
seperti LSM, lembaga pemerintah, rumah sakit, perguruan tinggi yang kini semakin menyadari perlunya peningkatan orientasi kepada pelanggan atau
konsumen. Perusahaan manufaktur kini juga telah menyadari perlunya elemen jasa
pada produknya sebagai upaya peningkatan competitive advantage bisnisnya
(Hurriyati, 2005: 41). Implikasi penting dari fenomena ini adalah semakin
tingginya tingkat persaingan, sehingga diperlukan manajemen pemasaran jasa
yang berbeda dibandingkan dengan pemasaran tradisional (barang).
Zeithaml and Bitner (2003 : 319) menyatakan bahwa pemasaran jasa
adalah mengenai janji-janji, janji yang dibuat kepada pelanggan dan harus dijaga.
Kerangka kerja strategik diketahui sebagai service triangle (Gambar 2.1) yang
memperkuat pentingnya orang dalam perusahaan menjaga janji mereka dan sukses
dalam membangun customer relationship. Segitiga menggambarkan tiga
kelompok yang saling berhubungan yang bekerja bersama untuk mengembangkan,
mempromosikan dan menyampaikan jasa. Ketiga pemain utama ini diberi nama
pada poin segitiga: perusahaan (SBU atau departemen atau manajemen),
pelanggan dan provider (pemberi jasa). Provider dapat pegawai perusahaan,
subkontraktor, atau pihak luar yang menyampaikan jasa perusahaan. Antara ketiga
poin segitiga ini, tiga tipe pemasaran harus dijalankan agar jasa dapat disampaikan
dengan sukses: pemasaran eksternal (external marketing), pemasaran interaktif
(interactive marketing), dan pemasaran internal (internal marketing).
Pada sisi kanan segitiga adalah usaha pemasaran eksternal yaitu
membangun harapan pelanggan dan membuat janji kepada pelanggan mengenai
apa yang akan disampaikan. Sesuatu atau seseorang yang mengkomunikasikan
kepada pelanggan sebelum menyampaikan jasa dapat dipandang sebagai bagian
20
dari fungsi pemasaran eksternal. Pemasaran eksternal yang merupakan permulaan
dari pemasaran jasa adalah janji yang dibuat harus ditepati.
Gambar 2.1 THE SERVICES MARKETING TRIANGLE
Sumber: Zeithaml and Bitner (2003:319)
Pada dasar segitiga adalah akhir dari pemasaran jasa yaitu pemasaran
interaktif atau real time marketing. Disini janji ditepati atau dilanggar oleh
karyawan, subkontraktor atau agen. Ini merupakan titik kritis. Apabila janji tidak
ditepati pelanggan akan tidak puas dan seringkali meninggalkan perusahaan. Sisi
kiri segitiga menunjukkan peran kritis yang dimainkan pemasaran internal. Ini
merupakan kegiatan manajemen untuk membuat provider memiliki kemampuan
untuk menyampaikan janji-janji yaitu perekrutan, pelatihan, motivasi, pemberian
imbalan, menyediakan peralatan dan teknologi. Apabila provider tidak mampu dan
Company
Providers Customers
External Marketing
Making Promises
Internal Marketing
Enabling Promises
Interactive Marketing
Keeping Promises tidak ingin memenuhi janji yang dibuat, perusahaan akan gagal, dan segitiga jasa
akan runtuh.
2.1.1.1 Pengertian Jasa
Kotler and Keller (2006 : 372) mengemukakan pengertian jasa (service)
sebagai berikut: “A service is any act or performance that one party can offer to
another that is essentially intangible and does not result in the ownership of
anything. Its production may or may not be tied to a physical product.” (Jasa
adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain
yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan
kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik).
Selanjutnya Stanton (2002 : 537) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:
“Services are identifiable, intangible activities that are the main object of a
transaction designed to provide want-satisfaction to customers. By this definition
we exclude supplementary services that support the sale of goods or other
services.”
Zeithaml and Bitner (2003 : 3) mengemukakan definisi jasa sebagai berikut:
Include all economic activities whose output is not a physical product or
construction, is generally consumed at the time it is produced, and
provided added value in forms (such as convenience, amusement,
timeliness, comfort, or health) that are essentially intangible concerns of
its first purchaser.
Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk
dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan,memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli
pertamanya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka jasa pada dasarnya adalah
sesuatu yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. suatu yang tidak berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen
2. proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan
suatu produk fisik
3. jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan
4. terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.
2.1.1.2 Karakteristik Jasa
Menurut Zeithaml and Bitner (2003 : 20), jasa memiliki empat ciri utama
yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak berwujud. Hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat,
mencium, meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka
membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari
informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan
penyalur jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga
produk jasa tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk
meningkatkan kepercayaan calon konsumen, yaitu sebagai berikut: 1.
Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud, 2. Menekankan pada
manfaat yang diperoleh, 3. Menciptakan suatu nama merek (brand name) bagi jasa, atau 4. Memakai nama orang terkenal untuk meningkatkan kepercayaan
konsumen.
2. Tidak terpisahkan (inseparability). Jasa tidak dapat dipisahkan dari
sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan
dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia
akan berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut,
sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan
skala operasi terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat
menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja dalam kelompok yang lebih
besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi jasa supaya mereka mampu
membina kepercayaan konsumen.
3. Bervariasi (variability). Jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah
tergantung siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa
tersebut dilakukan. Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa
berdasarkan suatu standar. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat
menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai
berikut: a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang
baik. b. Melakukan standarisasi proses produksi jasa. c. Memantau kepuasan
pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan
comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat diketahui
dan diperbaiki.
4. Mudah musnah (perishability). Jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat
dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan
persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka
perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan
pelayanannya. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan
harga, serta program promosi yang tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian
antara permintaan dan penawaran jasa.
2.1.1.3 Perbedaan Barang dan Jasa
Beberapa perbedaan dan implikasinya dalam bidang pemasaran dapat dilihat
pada Tabel 2.1
Tabel 2.1
SERVICES ARE DIFFERENT
Goods Services Resulting Implications
Tangible Intangible Service cannot be inventoried
Service cannot be patented
Service cannot be readily displayed or
communicated
Pricing is difficult
Standardized Heterogeneous Service delivery and customer satisfaction depend
on employee actions
Service quality depends on many uncontrollable
factors
There is sure knowledge that service delivered
matches what was planned and promoted
Production separate
from consumption
Simultaneous
production and
consumption
Customers participate in and affect the transaction
Customers affect each other
Employees affect the service outcome
Decentralization may be essential
Mass production is difficult
Nonperishable Perishable It is difficult to synchronize supply and demand
with services
Services cannot be returned or resold
Sumber: Zeithaml and Bitner (2003 : 20) Produk yang dihasilkan di bidang jasa sangat berbeda dengan produk dalam
bentuk fisik. Perbedaan antara produk dan jasa menyebabkan strategi pemasaran
yang digunakan juga berbeda. Pemasaran jasa akan menghadapi tantangan.
Tantangan ini berhubungan dengan pemahaman mengenai keinginan dan harapan
konsumen terhadap jasa yang ditawarkan, menawarkan jasa yang tidak nyata
menjadi nyata, dan memenuhi janji kepada pelanggan.
2.1.2 Pengertian dan Tujuan Pemasaran Jasa Bank
Bagi dunia perbankan yang merupakan badan usaha yang berorientasi
profit, kegiatan pemasaran sudah merupakan suatu kebutuhan utama dan sudah
merupakan suatu keharusan untuk dijalankan. Tanpa kegiatan pemasaran jangan
diharapkan kebutuhan dan keinginan pelanggannya akan terpenuhi. Oleh karena
itu, bagi dunia usaha apalagi seperti usaha perbankan perlu mengemas kegiatan
pemasarannya secara terpadu dan terus-menerus melakukan riset pasar.
Pemasaran harus dikelola secara profesional, sehingga kebutuhan dan
keinginan pelanggan akan segera terpenuhi dan terpuaskan. Pengelolaan
pemasaran bank yang profesional inilah yang disebut dengan nama manajemen
pemasaran bank. Kasmir (2004 : 63) menyatakan bahwa pemasaran bank adalah
“suatu proses untuk menciptakan dan mempertukarkan produk atau jasa bank yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah dengan cara
memberikan kepuasan.”
Dari definisi ini beberapa pengertian yang perlu untuk diketahui adalah sebagai
berikut:
1. Produk bank adalah jasa yang ditawarkan kepada nasabah untuk mendapatkan
perhatian, untuk dimiliki, digunakan atau dikonsumsi untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan nasabah. Produk bank terdiri dari produk simpanan
(giro, tabungan dan deposito), pinjaman (kredit) atau jasa-jasa bank lainnya
seperti transfer, kliring, inkaso, safe deposit box, kartu kredit, letter of credit,
bank garansi, traveller cheque, bank draf, dan jasa-jasa bank lainnya.
2. Permintaan suatu keinginan manusia yang didukung oleh daya belinya.
Artinya, permintaan akan terjadi apabila konsumen memiliki sejumlah dana
atau barang pengganti untuk memperoleh barang yang lain. Besarnya
permintaan nasabah tergantung dari daya beli nasabah tersebut di samping
harus didukung oleh minat dan akses mendapatkannya.
3. Pertukaran adalah tindakan untuk memperoleh sesuatu barang yang diinginkan
dari seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai penggantinya.
4. Pasar adalah himpunan nasabah (pembeli nyata dan pembeli potensial) atas
suatu produk, baik barang maupun jasa. Pasar dapat diartikan pula sebagai
tempat penjual dan pembeli melakukan transaksi. Arti lainnya dapat pula
berarti pasar tidak memiliki tempat pertemuan, akan tetapi lewat alat-alat lain
seperti telepon, faks, internet.
5. Kebutuhan nasabah bank adalah suatu keadaan yang dirasakan tidak ada
dalam diri seseorang.
6. Keinginan nasabah bank adalah merupakan kebutuhan yang dibentuk oleh
kultur dan kepribadian individu.
Selanjutnya Kasmir (2005 : 66) menyatakan bahwa tujuan pemasaran bank secara
umum adalah untuk:
1. Memaksimumkan konsumsi atau dengan kata lain memudahkan dan
merangsang konsumsi, sehingga dapat menarik nasabah untuk membeli
produk yang ditawarkan bank secara berulang-ulang.
2. Memaksimumkan kepuasan pelanggan melalui berbagai pelayanan yang
diinginkan nasabah. Nasabah yang puas akan menjadi ujung tombak
pemasaran selanjutnya, karena kepuasan ini akan ditularkan kepada nasabah
lainnya melalui ceritanya (word of mouth).
3. Memaksimukan pilihan (ragam produk) dalam arti bank menyediakan
berbagai jenis produk bank sehingga nasabah memiliki beragam pilihan pula.
4. Memaksimumkan mutu hidup dengan memberikan berbagai kemudahan
kepada nasabah dan menciptakan iklim yang efisien.
2.1.3 Definisi dan Tujuan Pemasaran Relasional
Saat ini, ada penerimaan yang luas bahwa relationship marketing (RM)
adalah filosopi atau budaya yang harus menembus seluruh organisasi. Ini
merupakan kombinasi dari proses bisnis dan teknologi yang digunakan untuk
memahami pelanggan perusahaan – siapa mereka, apa yang mereka lakukan, apa
yang mereka sukai – dan mengubahnya menjadi pelanggan yang selalu kembali ke
perusahaan. Ini merupakan pendekatan yang sistimatis untuk mengelola hubungan
antara bisnis dengan pelanggannya yang saling menguntungkan.
28
Hennig-Thurau and Hansen (2000) menyatakan bahwa konsep pemasaran
dibangun berdasarkan tiga hal yang berbeda tetapi saling berhubungan yaitu:
pendekatan teoritikal (theoretical approach) – behavioral perspective, pendekatan
jaringan kerja (network approach), dan pendekatan institusi ekonomi baru (new
institutional economics approach). Behavioral perspective meliputi model yang
berhungan dengan pemasaran relasional seperti konstruk kepercayaan, komitmen,
kepuasan dan customer retention. Sebaliknya, network theory memusatkan
perhatian pada karakter interaktif dari relationship dalam bidang business-tobusiness
marketing dan berhubungan dengan perspektif hubungan antar organisasi.
Dalam network model, perusahaan terlibat dengan sejumlah pengelolaan jangka
panjang yang kompleks yang disebut dengan relationship jaringan kerja (network
of relationship). Sementara, new institutional economics approach mencoba untuk
menggunakan teori ekonomi modern untuk menjelaskan perkembangan dan
hambatan relationship meliputi transaction cost theory dan agency theory yang
bertujuan meminimumkan biaya strukturisasi dan mengelola relationship.
Munculnya pemikiran ke arah pemasaran relasional adalah suatu upaya
terintegrasi untuk mengidentifikasi, mempertahankan dan membangun jaringan
kerja (network) dengan konsumen individu. Jaringan tersebut terus diperkuat agar
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak melalui kontak interaktif, bersifat
individual dan memberikan nilai tambah untuk jangka panjang (Peterson, 1995).
Definisi pemasaran relasional menunjukkan adanya suatu perubahan penting pada
sistem nilai dan orientasi filosofis. Hal ini ditandai dengan teori pemasaran baru,
kepuasan pelanggan masih dipandang perlu, namun tidak lagi cukup sebagai
tujuan pemasaran. Tujuan mengembangkan hubungan dilakukan berdasarkan satu
struktur manfaat jangka panjang dan ikatan antara pembeli dan penjual. Variabel
yang menandainya adalah network relationship yang meliputi kepercayaan (trust),
komitmen dan norma sosial
Berry (1983) pakar pemasaran yang pertama kali memperkenalkan istilah
dan definisi pemasaran relasional memberikan definisi sebagai berikut:
“Relationship Marketing is attracting, maintaining and – in multi-service
organization- enhancing customer relationships ... the attraction of new
customer is merely the first step in the marketing process, cementing the
relationship, transforming indifferent customer into loyal oness, serving
customer as client-this is marketing too.”
Definisi ini menekankan bahwa pemasaran relasional merupakan tahap
lebih lanjut untuk meraih pelanggan baru, yaitu dengan membina hubungan
dengan pelanggan agar tetap loyal pada perusahaan. Berdasarkan ini, Berry and
Parasuraman (1991: 133) menyatakan bahwa “relationship marketing concerns
attracting, developing, and retaning customer relationships.” Dengan cara yang
sama, Morgan and Hunt (1994) mengemukakan bahwa “relationship marketing
refers to all marketing activities directed toward establising, developing, and
maintaining succesfull relationsl exchanges.” (pemasaran relasional adalah semua
kegiatan pemasaran yang diarahkan untuk membangun, mengembangkan dan
pempertahankan kesuksesan pertukaran relasional).
Parvatiyar and Sheth (1994) memandang “pemasaran relasional sebagai
suatu orientasi yang mengembangkan interaksi yang erat dengan pelanggan
terpilih, pemasok dan pesaing untuk penciptaan nilai melalui usaha kerjasama.”
Beberapa pandangan yang lain mengenai pemasaran relasional seperti yang
30
disampaikan oleh Bicket (1992) yang menyatakan bahwa “pemasaran relasional
adalah pemasaran database yang menekankan pada aspek pemasaran yang
dihubungkan dengan usaha-usaha database.”
Dengan membangun berdasarkan literatur pemasaran jasa yang ada pada
waktu itu, Grönroos (1991) mengidentifikasi dan memasukkan adanya profitable
outcomes bagi penjual dan pembeli dengan mengusulkan bahwa: “relationship
marketing act to establish, maintain, and enhance relationship with customers and
other parties at a profit so that the objectives of the parties involved are met. This
is done by mutual echange and fulfillment of promises.”
Lebih lanjut pendapat Gummesson (1999: 236) terkait dengan hubungan
relasional yang dibangun pada organisasi jasa dijelaskan bahwa:
“Interaction has stood out as a central consept in service marketing and it
also stands out in its contributions to relationship marketing. Most
literature on service marketing is focused on the provider. The fact that
marketing and production must work hand in hand is in the core of service
marketing theory and so is quality. The concepts of the service encounter
and service quality support the effort of modern quality management to
bridge the gap between marketing and technical functions. Service
marketing is the mother of internal marketing which subsequently has
earned the status of being generally applicable. As many services consist of
data processing and transmission, the electronic relationship is a primary
importance for service companies.”
Intinya, interaksi merupakan konsep utama dalam pemasaran jasa serta
memberikan kontribusi pada pemasaran relasional. Banyak literatur pemasaran
jasa memusatkan perhatian pada service encounter yaitu interaksi antara
pelanggan dengan penyedia jasa. Dalam kenyataannya teori pemasaran dan
produksi harus bekerja sama dalam teori inti pemasaran jasa untuk menghasilkan
produk/jasa yang berkualitas. Konsep tentang service encounter dan service
quality mendukung usaha manajemen kualitas modern dan menjembatani
kesenjangan antara pemasaran dan fungsi tehnis. Pemasaran jasa adalah induk dari
pemasaran internal yang hasilnya dapat diaplikasikan secara umum. Pada banyak
bisnis jasa dibutuhkan transmisi dan pemrosesan data, hal ini merupakan the
electronic relationship yang merupakan hal yang sangat penting dalam perusahaan
jasa.
Gummesson (1999) mencatat bahwa pemasaran relasional sebagai
relationship, jaringan kerja dan interaksi. Dari perspektif praktisi,
dipertimbangkan sebagai strategi untuk meningkatkan hubungan yang ada dengan
meluaskan kedalaman relationship (dengan menginvestasikan lebih banyak uang
pada produk dan jasa perusahaan) dan dengan mengkonsentrasikan bisnis pada
pelanggan yang paling menguntungkan. Ini adalah marketing-oriented
management, tidak terbatas pada departemen pemasaran atau penjualan saja tetapi
menjadi bagian dari total manajemen perusahaan. Banyak perusahaan jasa
keuangan menggunakan sistem Customer Relationship Marketing sebagai basis
dan penyampai relationship marketing dan strategi manajemen mereka.
Dari berbagai definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa pemasaran relasional
adalah:
1. Mencari nilai-nilai baru untuk pelanggan dan kemudian produser dan
konsumen berbagi nilai yang diciptakan itu
2. Mengakui peran utama dari pelanggan individual tidak hanya sebagai pembeli,
tetapi juga mendefinisikan nilai yang mereka inginkan. Disini nilai diciptakan
bersama dengan pelanggan.
3. Perusahaan perlu mendesain dan memperbaiki proses bisnis, komunikasi,
teknologi dan sumberdaya manusia dalam mendukung nilai yang diinginkan
pelanggan individual. sebagai konsekuensi dari strategi bisnis dan berfokus
pada pelanggan.
4. Adalah usaha kerjasama yang terus menerus antara pembeli dan penjual.
5. Membangun chain of relationship dalam organisasi untuk menciptakan nilai
pelanggan yang diinginkan, dan antara organisasi dengan para stakeholder
utamanya.
Chan (2003:6) menyatakan bahwa tujuan utama pemasaran relasional
sebenarnya adalah untuk menemukan lifetime value (LTV) dari pelanggan. Setelah
LTV didapat, tujuan selanjutnya adalah bagaimana agar LTV masing-masing
kelompok pelanggan dapat terus diperbesar dari tahun ke tahun. Setelah itu, tujuan
ketiga adalah bagaimana menggunakan profit yang didapat dari dua tujuan
pertama tadi untuk mendapatkan pelanggan baru dengan biaya yang relatif murah.
Dengan demikian tujuan jangka panjangnya adalah menghasilkan keuntungan
terus menerus dari dua kelompok pelanggan: pelanggan sekarang dan pelanggan
baru.
Zeithaml and Bitner (2003:158) menyatakan bahwa tujuan utama dari
pemasaran relasional adalah untuk membangun dan mempertahankan pelanggan
yang komit yang menguntungkan bagi perusahaan dan pada waktu yang sama
meminimumkan waktu dan usaha yang dikeluarkan untuk pelanggan yang kurang
menguntungkan.
2.1.4 Economic Content, Resource Content dan Social Content
Morgan (2000 : 484) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang
diperlukan untuk mengembangkan komitmen dan kepercayaan dalam pemasaran
relasional (Gambar 2.2). Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Economics content. Pihak-pihak yang terlibat dalam relationship bersedia
menjalin hubungan karena memperoleh manfaat ekonomi superior. Manfaat
ekonomi ini merupakan economics content dalam pemasaran relasional.
Walaupun manfaat ekonomi merupakan hal yang penting, tetapi tidak cukup
untuk menjamin terciptanya kerjasama yang efektif.
Gambar 2.2 THE ECONOMIC, RESOURCE AND SOCIAL CONTENTS OF
RELATIONSHIP THE COMMITMENT-TRUST THEORY OF
RELATIONSHIP MARKETING
Sumber: Morgan (2000:483)
Economic
Content
Resource
Content
Social
Content
Relationship
Commitment
Trust
Cooperation
34
2. Resource content. Pihak-pihak yang terlibat bersedia terlibat dalam
relationship karena ingin mendapatkan sumberdaya yang tidak dimiliki dari
mitra mereka.
3. Social content. Pemasaran relasional harus terus menerus dibangun dalam
lingkungan sosial yang mendorong kerjasama yang efektif (social content).
Masing-masing pihak harus memandang interaksi yang lalu adalah baik dan
yakin bahwa tindakan mitra relationship pada masa yang akan datang akan
konstruktif. Mereka harus merasa bahwa mereka akan menjadi mitra yang
harmonis. Karena relationship berkembang, social content membangun norma
yang membimbing perilaku mitra.
2.1.4.1 Economic Content
Pada pasar yang didasarkan pada transaksi, partisipan memfokuskan secara
eksklusif pada economic content. Meskipun pada pertukaran relasional fokus
diperluas, economic content tetap penting bagi semua pihak dalam pemasaran
relasional. Menurut Morgan (2000:485) economic content adalah manfaat
ekonomi yang diterima partisipan yang terlibat dalam relationship. Economic
content ini sama maknanya dengan ikatan finansial yang disampaikan oleh
Zeithaml and Bitner (2003:175). Mereka menyatakan bahwa pelanggan bersedia
masuk ke dalam relationship terutama karena adanya ikatan finansial (financial
bonds). Ikatan finansial adalah ikatan yang muncul dari adanya insentif keuangan
yang diterima pihak yang menjalin hubungan. Contoh dari insentif keuangan
antara lain adalah harga yang lebih rendah untuk volume pembelian yang lebih
besar atau harga yang lebih rendah untuk pelanggan yang telah lama menjadi
pelanggan perusahaan. Peterson (1995) menyatakan bahwa motivasi utama
pelanggan terlibat dalam pemasaran relasional adalah manfaat ekonomi. Parvatyar
and Sheth (2000) juga melihat bahwa pelanggan yang terlibat dalam pemasaran
relasional harus dikenakan biaya yang lebih rendah. Walaupun begitu, penggunaan
insentif ekonomi seperti diskon dan hadiah untuk mempertahankan loyalitas
pelanggan tidak dapat diharapkan dapat memberikan keuntungan jangka panjang
bagi perusahaan kecuali kalau dikombinasikan dengan strategi relationship yang
lain, karena insentif keuangan merupakan elemen bauran pemasaran yang paling
mudah ditiru dan tidak dapat membedakan perusahaan dengan pesaingnya.
Economic content sering hanya merupakan anteseden yang diperlukan perusahaan
yang memusatkan pemasarannya pada penciptaan transaksi tunggal dan mungkin
dengan pelanggan yang hanya sesekali melakukan transaksi.
Economic content dapat diukur dengan nilai ekonomi (economic value) dan
service value (Lacey, 2003). Nilai ekonomi berhubungan dengan cost-benefit
ratio yang dirasakan setiap pihak yang terlibat dalam relationship. Keberhasilan
dalam memberikan nilai ekonomi kepada pelanggan dapat dengan meningkatkan
kualitas, mengurangi pengorbanan yang dirasakan pelanggan atau dengan
meminimumkan biaya kepada pelanggan.
Lebih lanjut Lee and Cunningham (2001) menyatakan bahwa keinginan
pelanggan untuk terus menjalin hubungan dengan penyedia jasa ditentukan oleh
analisa perbandingan antara biaya dan benefit yang timbul dari relationship antara
pelanggan dengan pemberi jasa. Dalam proses transaksi, yang dimasukkan dalam
benefit adalah atribut produk, kualitas produk, kualitas pelayanan dan ragam
pilihan produk. Sementara yang dikategorikan dalam pengorbanan adalah bunga
yang harus dibayar, biaya kredit, waktu yang terbuang, dan biaya transportasi.
Switching cost didefinisikan sebagai persepsi konsumen terhadap waktu,
uang dan usaha yang diperlukan untuk mengganti merek/perusahaan. Switching
cost dapat meliputi search cost, learning cost, relationship-specific investments,
dan sebagainya. Burnham et al. (2003) menyatakan bahwa switching cost
didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dihubungkan dengan proses perpindahan
dari satu suplier ke suplier lain. Lebih lanjut, Burnham menyatakan bahwa ada tiga
tipe switching cost:
1. Procedural switching cost yang meliputi risiko ekonomi dan biaya evaluasi
dan melibatkan penggunaan waktu dan usaha.
2. Financial switching cost yang melibatkan hilangnya benefit dan sumberdaya
keuangan.
3. Relational switching cost yang berhubungan dengan hilangnya hubungan
personal dan hubungan dengan merek, yang melibatkan ketidaknyamanan
psikologikal dan emosional karena hilangnya identitas dan putusnya
hubungan.
Salah satu alasan program insentif keuangan berkembang adalah bahwa
program ini tidak sulit untuk ditiru dan menghasilkan profit dalam jangka pendek.
Tetapi insentif keuangan ini tidak memberikan keuntungan jangka panjang kepada
perusahaan kecuali dikombinasikan dengan strategi relasional yang lain. Dalam
jangka panjang, insentif ini tidak membedakan perusahaan dengan pesaingnya.
2.1.4.2 Resource Content
Resource content merupakan sumberdaya perusahaan yang dapat
digunakan untuk membangun hubungan dengan mitra. Menurut Morgan and Hunt
(1994), sumberdaya memiliki peran strategis dalam relationship. Sumberdaya
dapat menjadi motivasi untuk membangun dan mempertahankan relationship.
Kemampuan perusahaan untuk membangun dan mempertahankan relationship
didasarkan pada kepemilikan sumberdaya unik yang bernilai, langka, dan sulit
untuk ditiru. Sumberdaya yang unik sering tidak berwujud dan ini mengakibatkan
pesaing sulit untuk menirunya. Sumberdaya ini dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Wernerfelt (1984) menyatakan bahwa sumberdaya dapat berarti sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai kekuatan atau kelemahan dari suatu perusahaan.
Secara lebih formal, sumberdaya perusahaan dapat didefinisikan sebagai aktiva
berwujud atau tidak berwujud yang melekat pada perusahaan.
Sementara itu, Hall (1992) menyatakan bahwa keunggulan bersaing
diperoleh dari adanya kepemilikan kemampuan berbeda yang relevan (relevant
capability differentials). Persediaan dari kemampuan berbeda ini adalah
sumberdaya tidak berwujud (intangible resource). Sumberdaya tidak berwujud
dapat diklasifikasikan sebagai aset atau ketrampilan. Sumberdaya tidak berwujud
seperti reputasi dapat diklasifikasikan sebagai aktiva karena dapat digolongkan
sebagai ‘belongingness’, dan ini dapat digunakan untuk bertahan dari pencemaran
nama baik dan tidak dapat diperjualbelikan seperti trademark.
Tabel 2.2
RESOURCE POTENTIALLY GAINED
IN COOPERATIVE RELATIONSHIP
No. Resource Specific Resource Example
1 Financial Venture capital, cash and securities, and borrowing
capacity
2 Legal Patents, contracts and licences
3 Physical Geographic coverage of markets, plants and equipment,
access to row materials
4 Human Selling skills and breadth of sales personnel, research
scientists, visionary leadership, management skills
5 Technological Computer-aided design, unique manufacturing
processes, information systems
6 Organizational Corporate culture and climate, valued brands, firm
reputation, processes for organizational monitoring
systems
7 Relational Loyal patrons, commited partners (including
employees, suppliers, customers), global alliances
8 Informational Knowledge of the unique needs and requirements of
segments of customers and the strengths and
weaknesses of competitors
Sumber : Morgan (2000:493)
Resource Content dapat diukur dengan reputasi perusahaan (company
reputation) dan confidence benefit (Lacey, 2003; Boonajsevee, 2003; Morgan,
2000:487)
Reputasi perusahaan adalah persepsi seseorang mengenai keadaan masa lalu
dan prospek masa yang akan datang mengenai kualitas perusahaan atau produk.
Reputasi perusahaan menggambarkan pengetahuan seseorang mengenai produk
atau jasa. Aaker and Keller (dalam Lacey, 2003) menyatakan bahwa reputasi
perusahaan (company reputation) adalah persepsi pelanggan mengenai kualitas
yang dihubungkan dengan nama perusahaan. Ini berarti nama perusahaan memberi
39
pengaruh positif pada respon pelanggan terhadap produk atau jasa. Reputasi
kualitas perusahaan tidak terbatas hanya pada produk atau jasa yang dihasilkan
tetapi sering dihubungkan dengan reputasi perusahaan secara keseluruhan.
Reputasi kualitas perusahaan merupakan gambaran perseptual dari tindakan masa
lalu dan prospek masa depan dari pertimbangan seseorang mengenai produk dan
jasa perusahaan. Fombrun (dalam Walsh et al., 2006) mendefinisikan reputasi
perusahaan sebagai penilaian kolektif terhadap kemampuan perusahaan untuk
memberikan hasil kepada kelompok representative stakeholders. Dari definisi ini
dapat dikatakan bahwa reputasi merupakan penjumlahan persepsi dari seluruh
stakeholder mengenai pelayanan, orang, dan komunikasi, dan aktivitas perusahaan.
Lebih lanjut Fombrun (dalam Walsh et al., 2006) menyatakan bahwa reputasi
merupakan penilaian terhadap enam dimensi yaitu: emotional appeal; produk dan
jasa; visi dan kepemimpinan, lingkungan tempat kerja, tanggungjawab sosial dan
lingkungan; dan kinerja keuangan. Sementara menurut Walsh (2006), dimensi
reputasi meliputi: fairness, sympathy, tranparency, and perceived customer
orientation.
Confidence benefit berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam
mengurangi kekhawatiran dan memberikan kenyamanan karena pelanggan
mengetahui apa yang diharapkan dari pemberi jasa (Gwinner et al., 1998).
Menurut Sheth and Parvatiyar (2000:179), konsumen bersedia terlibat dalam
pemasaran relasional karena mereka ingin mengurangi resiko, dan menikmati
kenyamanan. Konsumen dapat menjalin pemasaran relasional dengan merek atau
perusahaan tertentu untuk mengurangi keraguan terhadap produk atau jasa.
2.1.4.3 Social Content
Interaksi antara penjual dan pembeli hampir selalu memiliki social content.
Social content adalah hubungan sosial yang terbentuk dari adanya interaksi antara
penyedia jasa dengan pelanggan (Morgan, 2000:489). Walaupun social content
dapat tidak relevan untuk beberapa perusahaan yang berorientasi transaksi, tetapi
kategori ini dipertimbangkan menjadi dasar bagi kesuksesan pelaksanaan
pemasaran relasional. Cross and Smith (dalam Gounaris, et al., 2003)
menggambarkan social content sebagai proses mengembangkan dan mendorong
relationship yang saling menguntungkan antara pemberi jasa dan pembeli.
Sementara Wilson and Mummalaneni (dalam Gounaris, et al., 2003) menyatakan
bahwa social content sebagai proses yang menjelaskan bagaimana tumbuhnya
relationship antara dua pihak. Social content mempercepat partisipasi antar
individu dalam pertukaran karena meningkatkan komunikasi dan aliran informasi
yang akhirnya akan meningkatkan relationship secara menyeluruh.
Social content dapat menghasilkan perasaan suka, persahabatan, social
interactivity, dan sebagainya. Fakta yang ada menunjukkan bahwa apabila terdapat
social content yang kuat, pelanggan akan lebih komit untuk mempertahankan
relationship. Hal ini mungkin terjadi karena pengaruh hubungan sosial terjadi pada
saat kontak terjadi. Dari perspektif penyedia jasa, mengenal pelanggan dapat
membantu menghindari kesalahpahaman, ketidakbersedian untuk bekerjasama
atau akibat lainnya yang dapat menyebabkan kegagalan relationship. Dari sudut
pandang pelanggan, personal relationship dengan penyedia jasa dapat mendorong
pemahaman yang benar sehingga karyawan lebih mudah untuk memahami
41
kebutuhan pelanggan. kekurangan kontak personal dapat mempengaruhi nasabah
bank membentuk persepsi mengenai kualitas pelayanan.
Social content dapat terbentuk dari adanya komunikasi (communication),
dan kekeluargaan (familiarity) (Lacey, 2003; Morgan, 2000)
Salah satu karakteristik fundamental dari sebuah hubungan yang bekerja
dengan baik adalah komunikasi. Komunikasi dapat didefinisikan secara luas
sebagai berbagi informasi bermakna dan tepat waktu antara perusahaan dan
pelanggan, baik secara formal maupun informal. Komunikasi, khususnya
komunikasi yang tepat waktu dapat mempercepat kepercayaan dengan membantu
penyelesaian perselisihan dan menyamakan persepsi dan harapan pelangganperusahaan.
Ketika komunikasi terhambat, kemungkinan hubungan akan
memburuk demikian juga yang terjadi dalam hubungan antara perusahaan dan para
pelanggannya. Pelanggan seringkali mengacu pada keberadaan komunikasi
sebagai bukti dari adanya sebuah hubungan. Relationship tanpa komunikasi adalah
hal yang tidak mungkin. Beberapa ahli pemasaran relasional setuju bahwa
komunikasi adalah aspek fundamental dalam mengembangkan relationship.
Komunikasi merupakan hal penting bagi koordinasi dalam organizational setting
termasuk dalam pemasaran relasional. Komunikasi dikatakan menjadi perekat
dalam personal contact.
Groonroos (1996) menggambarkan bahwa komunikasi antara penyedia jasa
dengan kliennya merupakan bagian integral dari fungsi pemasaran interaktif. Apa
yang dikatakan karyawan, bagaimana mereka mengatakannya, bagaimana perilaku
mereka, bagaimana outlet jasa, tampilan mesin dan sumberdaya fisikal, dan
bagaimana mereka mengkomunikasikan sesuatu kepada pelanggan. Efek
komunikasi dapat positif maupun negatif. Hasil komunikasi adalah meningkatnya
persentase pelanggan yang bertahan dan nilai mereka meningkat.
Social content juga dihubungkan dengan kekeluargaan (familiarity) antara
perusahaan dengan pekerjanya. Kekeluargaan dapat digambarkan sebagai tingkat
pengakuan personal pelanggan oleh karyawan perusahaan sebagai hasil dari
interaksi dalam beberapa waktu. Pekerja dapat memiliki peluang untuk
membangun hubungan dengan pelanggan, dan kekeluargaan dapat berkembang
menjadi persahabatan antara pelanggan dengan karyawan. Hubungan yang
meningkat ini akan membuat kedua belah pihak ingin menjalin hubungan yang
menimbulkan rasa memiliki dan persahabatan.
2.1.5 Pengembangan Model Economic, Resource and Social Contents of
Relationship
Model Economic, Resource and Social Contents of Relationship yang
disampaikan Morgan (2000:483) menunjukkan ada pengaruh social content
terhadap kepercayaan dan komitmen, pengaruh resource content terhadap
komitmen, pengaruh kepercayaan terhadap komitmen dan kerjasama, dan
pengaruh komitmen terhadap kerjasama. Kemudian, dalam studi ini model
Morgan tersebut dikembangkan dengan menggabungkan beberapa teori dan
penelitian terdahulu. Model yang dikembangkan tersebut seperti terlihat pada
Gambar 2.3.
Gambar 2.3. PENGARUH ECONOMIC CONTENT, RESOURCE CONTENT,
DAN SOCIAL CONTENT TERHADAP KEPERCAYAAN,
KEPUASAN, KOMITMEN DAN RELATIONSHIP INTENTION
Sumber: Diolah peneliti dari berbagai sumber, 2007
Pengaruh economic content terhadap kepercayaan (trust) dikembangkan
dari teori Doney and Cannon (1997) dan Lin et al. (2003). Doney and Cannon
(1997) menyatakan bahwa nasabah dimotivasi untuk percaya pada pemberi jasa
yang menawarkan economic content sebagai pihak yang dapat dipercaya karena
kesediaan memberikan penawaran ini diartikan sebagai kapabilitas dari pemberi
jasa. Kapabilitas ini dapat menimbulkan kepercayaan nasabah, yang berarti
penilaian terhadap kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya. Teori Doney
and Cannon ini diperkuat oleh penelitian Lin et al. (2003) yang menemukan
bahwa economic content berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan.
Pengaruh economic content terhadap kepuasan dikembangkan dari temuan
Liang and Wang (2005). Hasil penelitiannya menemukan bahwa economic content
Economic
Content
Resource
Content
Social
Content
Relationship
Commitment
Trust
Relationship
Intention
Satisfaction
44
secara signifikan mempengaruhi kepuasan nasabah. Nasabah merasa puas karena
menurut penilaiannya bank dapat memberikan manfaat ekonomi yang melebihi
harapannya. Bank yang dapat memberikan economic content kepada nasabah
dengan memberikan manfaat yang lebih besar dari pada pengorbanan yang
dikeluarkan akan menimbulkan kepuasan kepada nasabah. Faktor ini mendorong
motivasi konsumsi pelanggan dan memperoleh loyalitas mereka dengan
menggunakan keputusan harga seperti tingkat bunga yang lebih tinggi untuk
account yang lebih besar dan disimpan di bank dalam jangka yang lebih panjang.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nasabah baik nasabah
perusahaan maupun individu yang telah menjalin hubungan selama lima tahun
memperoleh lebih banyak keuntungan dari pada nasabah yang baru menjalin
hubungan selama satu tahun. Nasabah yang puas akan bersedia menjalin hubungan
jangka panjang dan akan lebih bernilai kepada bank dari pada nasabah yang baru
karena nasabah lama memiliki account balance yang lebih tinggi, biaya yang
relatif lebih rendah, dan cenderung menggunakan produk dan jasa lain.
Pengaruh resource content terhadap kepercayaan dikembangkan dari
penelitian yang dilakukan oleh Lacey (2003) yang menemukan bahwa resource
content berpengaruh signifikan terhadap kepercayaan. Perusahaan yang memiliki
resource content akan membuat pelanggan mempercayai perusahaan dan bersedia
untuk mengembangkan relationship. Resource content berpengaruh terhadap
kepercayaan karena resource content mengurangi ketidak pastian, meningkatnya
rasa aman pelanggan, dan menguatnya persepsi pelanggan terhadap reputasi
perusahaan.
45
Pengaruh resource content terhadap kepuasan dikembangkan berdasarkan
Gwinner et al. (1988) yang menemukan bahwa resource content berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan. Resource content dirasakan sebagai bagian dari
kinerja jasa dan manfaat yang diterima pelanggan dapat mempengaruhi kepuasan
pelanggan terhadap jasa. Karena itu resource content dianggap bernilai dan
penting bagi pelanggan.
Pengaruh kepuasan terhadap komitmen dikembangkan dari studi
Boonajsevee (2005), dan Hennig-Thurau et al. (2002). Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa peningkatan kepuasan pelanggan akan membangun
komitmen yang lebih kuat terhadap suatu bank. Jadi nasabah akan puas apabila
bank dapat memenuhi atau melebihi harapan mereka dan kurang suka
mengembangkan relationship yang baru dengan bank lain apabila sudah memiliki
kedekatan emosional yang kuat dengan suatu bank tertentu.
Pengaruh komitmen terhadap relationship intention dikembangkan dari
penelitian Moorman et al. (1993) yang menyatakan bahwa pelanggan yang komit
dengan relationship dapat memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk ingin
tetap menjalin hubungan dengan perusahaan karena kebutuhan mereka untuk
tinggal konsisten dengan komitmen mereka. Komitmen pelanggan adalah bukti
dari adanya emosi yang menstranformasikan perilaku pembelian berulang menjadi
suatu relationship. Jika nasabah tidak merasakan adanya kedekatan dengan suatu
bank, maka hubungan antara nasabah dan karyawan bank tidak memiliki
karakteristik suatu hubungan.
46
Temuan Mormaan et al. (1993) ini didukung oleh studi yang dilakukan
Venetis and Ghauri (2004). Venetis and Ghauri menggunakan komitmen sebagai
variabel antara yang memainkan peran penting dalam membentuk hubungan
jangka panjang. Penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen
berpengaruh signifikan pada relationship intention. Dengan kata lain Relationship
intention dibentuk dari adanya komitmen dari pihak-pihak yang terlibat dalam
relationship.
2.1.6 Komitmen (Commitment)
Morgan and Hunt (1994) mendefinisikan komitmen sebagai “an exchange
partner believing that on going relationship with another is so important as to
warrant maximum efforts at maintaining it; that is, the committed party believes
the relationship is worth working on to ensure that it endures indefinitly.”
Definisi ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Moorman et al.
(1992) yang menyatakan bahwa komitmen sebagai keinginan yang terus –
menerus untuk memelihara hubungan yang bernilai. Relationship yang bernilai
berhubungan dengan keyakinan bahwa komitmen relasional hanya ada ketika
relationship dipertimbangkan sebagai hal yang penting. Selain itu, keinginan yang
terus menerus untuk mempertahankan hubungan berhubungan dengan pandangan
bahwa mitra yang komit menginginkan relationship dapat berjalan terus-menerus
dan akan berusaha untuk mempertahankannya.
Barnes (2003:150) menyatakan bahwa komitmen adalah suatu keadaan
psikologis yang secara global mewakili pengalaman ketergantungan pada suatu
47
hubungan; komitmen meringkas pengalaman ketergantungan sebelumnya dan
mengarahkan reaksi pada situasi baru. Komitmen merupakan orientasi jangka
panjang dalam suatu hubungan, termasuk keinginan untuk mempertahankan
hubungan itu. Bagi bisnis yang menghadapi tingkat persaingan yang tinggi, hal ini
mengimplikasikan bahwa kemampuan perusahaan untuk menciptakan hubungan
yang tahan lama dengan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh aksi perusahaan
itu sendiri, melainkan juga oleh aksi para pesaingnya. Perusahaan yang dapat
dengan sukses membuat dirinya berbeda dari pesaing mungkin memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk menciptakan hubungan daripada perusahaan
yang tidak dapat melakukannya. Sebaliknya, pelanggan yang loyal hanya karena
mereka tidak memiliki alternatif yang lebih menarik merupakan suatu keadaan
yang rapuh dan terbatas pada situasi dimana pelanggan merasa bahwa dia terjebak.
Dalam area pemasaran jasa, Berry and Parasuraman (1991:139)
menyatakan bahwa relationships dibangun di atas fondasi mutual komitmen.
Selain itu komitmen juga merupakan proses pelanggan untuk memiliki keinginan
menjalin hubungan dengan perusahaan tertentu. Tema yang sering muncul dari
berbagai literatur relationship adalah berbagai pihak mengidentifikasi komitmen di
antara mitra pertukaran sebagai kunci untuk memperoleh hasil yang bernilai bagi
mereka, dan mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memelihara
atribut bernilai ini dalam relationship mereka. Oleh karena itu, komitmen adalah
sentral bagi semua pertukaran relasional antara perusahaan dan berbagai mitranya.
Secara umum ada dua tipe komitmen yang berbeda. Calculative dan
affective (Peppers and Rogers, 2004 : 46). Calculative commitment berhubungan
48
dengan tipe instrumen dari komitmen, dan sebagai perluasan dari kebutuhan untuk
mempertahankan relationship yang disebabkan oleh adanya manfaat ekonomi dan
switching cost. Calculative commitment dihasilkan dari analisis ekonomi dari
biaya dan manfaat dengan membuat komitmen.. Sementara affective commitment
timbul karena seseorang memiliki ikatan emosional, bukan karena alasan ekonomi.
Calculative commitment berhubungan negatif dengan kepercayaan dan didasarkan
pada perhitungan biaya dan benefit. Jadi tidak kondusif bagi perkembangan
relationship jangka panjang. Sebaliknya, affective commitment didasarkan pada
relationship yang berkesinambungan, bukan karena benefit ekonomi jangka
pendek, tetapi karena setiap pihak merasakan kedekatan emosional atau
psikologikal satu sama lain. Affective commitment secara positif berhubungan
dengan kepercayaan dan mendukung benefit relationship dalam waktu yang lebih
lama, menurunkan opportunism, dan keinginan untuk memecahkan konflik dengan
cara damai.
Oleh karena komitmen bersifat rentan, relationship dijalin dengan pihak
yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kepercayaan adalah kontributor yang kuat
bagi komitmen. Sepanjang garis yang sama, komunikasi dan pertukaran informasi
yang terbuka dapat digunakan untuk menciptakan sikap positif anggota
relationship dan dapat digunakan untuk menguatkan benefit relationship. Anggota
relationship yang menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan manfaat
superior akan dinilai tinggi oleh pihak yang secara senang melibatkan diri dalam
relationship.
49
2.1.7 Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan adalah keyakinan bahwa seseorang akan menemukan apa
yang diinginkan pada mitra pertukaran. Kepercayaan melibatkan kesediaan
seseorang untuk untuk bertingkah laku tertentu karena keyakinan bahwa mitranya
akan memberikan apa yang ia harapkan dan suatu harapan yang umumnya dimiliki
seseorang bahwa kata, janji atau pernyataan orang lain dapat dipercaya (Barnes,
2003:148).
Menurut Barnes (2003:149), beberapa elemen penting dari kepercayaan
adalah:
1. kepercayaan merupakan perkembangan dari pengalaman dan tindakan di masa
lalu
2. watak yang diharapkan dari mitra seperti dapat dipercaya dan dapat
dihandalkan
3. kepercayaan melibatkan kesediaan untuk menempatkan diri dalam risiko
4. kepercayaan melibatkan perasaan aman dan yakin pada diri mitra
Komponen-komponen kepercayaan ini dapat diberi label sebagai dapat
diprediksi, dapat diandalkan dan keyakinan. Dapat diprediksi direfleksikan oleh
pelanggan yang mengatakan bahwa mereka berurusan dengan perusahaan tertentu
karena “saya dapat mengharapkannya.” Dapat diandalkan merupakan hasil dari
suatu hubungan yang berkembang sampai pada titik dimana penekanan beralih
dari perilaku tertentu kepada kualitas individu – kepercayaan pada individunya,
bukan pada tindakan tertentu. Keyakinan direfleksikan dari perasaan aman dalam
50
diri pelanggan bahwa mitra mereka dalam hubungan tersebut akan “menjaga
mereka.”
Dari sudut pandang pemasaran, hal ini menyatakan bahwa perkembangan
kepercayaan dan khususnya keyakinan, seharusnya menjadi komponen
fundamental dari strategi pemasaran yang ditujukan untuk mengarah pada
penciptaan hubungan pelanggan sejati. Pelanggan harus mampu merasakan bahwa
dia dapat mengandalkan perusahaan; bahwa perusahaan dapat dipercaya. Akan
tetapi, untuk membangun kepercayaan membutuhkan waktu lama dan hanya dapat
berkembang setelah pertemuan yang berulangkali dengan pelanggan. Lebih
penting, kepercayaan berkembang setelah seorang individu mengambil risiko
dalam berhubungan dengan mitranya. Hal ini menunjukkan bahwa membangun
hubungan yang dapat dipercaya akan lebih mungkin terjadi dalam sektor industri
tertentu – terutama yang melibatkan pengambilan risiko oleh pelanggan dalam
jangka pendek atau membutuhkan obligasi jangka panjang.
Green (dalam Peppers and Rogers, 2004:73) menyatakan bahwa
komponen-komponen kepercayaan adalah:
1. Kredibilitas. Kredibilitas berarti bahwa karyawan jujur dan kata-katanya dapat
dipercaya. Kredibilitas harus dilakukan dengan kata-kata, “ saya dapat
mempercayai apa yang dikatakannya mengenai ….” bentuk lain yang
berhubungan adalah believability dan truthfulness.
2. Reliabilitas. Reliabilitas berarti sesuatu yang bersifat reliable atau dapat
dihandalkan. Ini berarti berhubungan dengan kualitas individu/organisasi.
Reliabilitas harus dilakukan dengan tindakan; “ saya dapat mempercayai apa
51
yang akan dilakukannya . ….” Bentuk lain yang berhubungan adalah
predictability dan familiarity
3. Intimacy. Kata yang berhubungan adalah integritas yang berarti karyawan
memiliki kualitas sebagai karyawan yang memiliki prinsip moral yang kuat.
Integritas menunjukkan adanya internal consistency, ada kesesuaian antara
apa yang dikatakan dan dilakukan, ada konsistensi antara pikiran dan tindakan.
Selain itu integritas juga menunjukkan adanya ketulusan.
CRM dimulai dengan berfokus pada pelanggan. Tetapi ada dua jenis fokus
pelanggan. Pertama adalah fokus pada pelanggan untuk kepentingan perusahaan.
Kedua, adalah fokus secara langsung kepada kepentingan pelanggan, dengan
keyakinan bahwa kebutuhan sudah diketahui, perusahaan juga akan melayani
dengan baik. Pelanggan dengan mudah dan cepat mendeteksi perbedaan dalam dua
pendekatan ini. Apabila implikasi penelitian benar – bahwa relationship yang
dipercaya adalah relationship yang menguntungkan –maka cara paling cepat untuk
menghilangkan kepercayaan adalah dengan melakukannya hanya untuk uang,
hanya untuk perusahaan. Apabila pelanggan mempercayai perusahaan, perusahaan
akan mendapatkan keuntungan, tetapi apabila perusahaan mencoba untuk
mendapatkan laba dengan menggunakan kepercayaan sebagai self-serving tactic,
ini tidak akan terjadi. Perusahaan secara nyata harus memperhatikan hal ini karena
pelanggan dapat melihat perbedaan tersebut.
Menurut Peppers and Rogers (2004: 43), kepercayaan adalah keyakinan
satu pihak pada reliabilitas, durabilitas, dan integritas pihak lain dalam
relationship dan keyakinan bahwa tindakannya merupakan kepentingan yang
52
paling baik dan akan menghasilkan hasil positif bagi pihak yang dipercaya.
Kepercayaan merupakan hal penting bagi kesuksesan relationship. Benefit
relationship yang didasarkan pada kepercayaan adalah signifikan dan
menggambarkan hal-hal berikut:
1. Cooperation. Kepercayaan dapat meredakan perasaaan ketidakpastian dan
risiko, jadi bertindak untuk menghasilkan peningkatan kerjasama antara
anggota relationship. Dengan meningkatnya tingkat kepercayaan, anggota
belajar bahwa kerjasama memberikan hasil yang melebihi hasil yang lebih
banyak dibandingkan apabila dikerjakan sendiri.
2. Komitmen. Komitmen merupakan komponen yang dapat membangun
relationship dan merupakan hal yang mudah hilang, yang akan dibentuk hanya
dengan pihak-pihak yang saling percaya.
3. Relationship duration. Kepercayaan mendorong anggota relationship bekerja
untuk menghasilkan relationship dan untuk menahan godaan untuk tidak
mengutamakan hasil jangka pendek dan atau bertindak secara oportunis.
Kepercayaan dari penjual secara positif dihubungkan dengan kemungkinan
bahwa pembeli akan terlibat dalam bisnis pada masa yang akan datang, oleh
karena itu memberikan kontribusi untuk meningkatkan durasi relationship.
4. Kualitas. Pihak yang percaya lebih mungkin untuk menerima dan
menggunakan informasi dari pihak yang dipercaya, dan pada gilirannya
menghasilkan benefit yang lebih besar dari informasi tersebut. Akhirnya,
adanya kepercayaan memungkinkan perselisihan atau konflik dapat
dipecahkan secara efisien dan damai. Dalam kondisi tidak ada kepercayaan,
53
perselisihan dirasakan merupakan tanda akan adanya kesulitan pada masa
yang akan datang dan biasanya menyebabkan berakhirnya relationship.
Kepercayaan secara jelas sangat bermanfaat dan penting untuk membangun
relationship, walaupun, menjadi pihak yang dipercaya tidaklah mudah dan
memerlukan usaha bersama. Faktor-faktor berikut memberikan kontribusi bagi
terbentuknya kepercayaan (Peppers and Rogers, 2004:45).
1. Shared value. Nilai-nilai merupakan hal mendasar untuk mengembangkan
kepercayaan. Pihak-pihak dalam relationship yang memiliki perilaku, tujuan
dan kebijakan yang sama akan mempengaruhi kemampuan mengembangkan
kepercayaan. Pihak-pihak yang terlibat sulit untuk saling percaya apabila ide
masing-masing pihak tidak konsisten.
2. Interdependence. Ketergantungan pada pihak lain mengimplikasikan
kerentanan. Untuk mengurangi risiko, pihak yang tidak percaya akan membina
relationship dengan pihak yang dapat dipercaya.
3. Quality communication. Komunikasi yang terbuka dan teratur, apakah formal
atau informal, dapat meluruskan harapan, memecahkan persoalan, dan
meredakan ketidakpastian dalam pertukaran. Komunikasi yang dilakukan
untuk menghasilkan kepercayaan harus dilakukan secara teratur dan
berkualitas tinggi; atau dengan kata lain, harus relevan, tepat waktu, dan
reliable. Komunikasi masa lalu yang positif akan menimbulkan kepercayaan,
dan pada gilirannya akan menjadi komunikasi yang lebih baik.
4. Nonopportunistic behavior. Berperilaku secara opportunis adalah dasar bagi
terbatasnya pertukaran. Relationship jangka panjang yang didasarkan pada
54
kepercayaan memerlukan partisipasi semua pihak dan tindakan yang
meningkatkan keinginan untuk berbagi benefit dalam jangka panjang.
Komitmen dan kepercayaan merupakan dua komponen yang paling penting
dari hubungan jangka panjang antara perusahaan dengan partner pertukaran
mereka. Morgan and Hunt (1994) menyatakan bahwa, “relationship commitment
dan relationship trust adalah kunci bagi kesuksesan pemasaran relasional.
Komitmen dan kepercayaan secara langsung membawa perilaku kerjasama yang
mendorong kesuksesan pemasaran relasional.
Komitmen dan kepercayaan merupakan kunci bagi keberhasilan
relationship karena mendorong pemasar untuk (1) bekerja sama dengan mitra
pertukaran dalam menjaga relationship, (2) menolak benefit jangka pendek untuk
mendapatkan benefit jangka panjang, (3) memandang tindakan yang berpotensi
memiliki risiko tinggi secara bijaksana dengan keyakinan bahwa mitra mereka
tidak akan bertindak secara oportunis. Mereka menyatakan bahwa ketika ada
komitmen dan kepercayaan, hasilnya adalah efisiensi, produktivitas, dan
efektifitas.
2.1.8 Kepuasan Pelanggan
Pelanggan memasuki situasi jual-beli dengan harapan-harapan tertentu.
Pelanggan mempunyai angan-angan tentang perasaan yang ingin mereka rasakan
ketika mereka menyelesaikan suatu transaksi atau ketika mereka menggunakan
barang yang mereka beli maupun ketika menikmati pelayanan yang telah mereka
bayar.
55
Mencapai tingkat kepuasan pelanggan tertinggi adalah tujuan utama
pemasaran. Pada kenyataannya, akhir-akhir ini banyak perhatian tercurah pada
konsep kepuasan “total,” yang implikasinya adalah mencapai kepuasan sebagian
saja tidaklah cukup untuk membuat pelanggan setia dan kembali lagi. Ketika
pelanggan merasa puas akan pelayanan yang didapatkan pada saat proses transaksi
dan juga puas akan barang atau jasa yang mereka dapatkan, besar kemungkinan
mereka akan kembali lagi dan melakukan pembelian-pembelian yang lain dan juga
akan merekomendasikan pada teman-teman dan keluarganya tentang perusahaan
tersebut dan produk-produknya. Juga kecil kemungkinannya mereka berpaling ke
pesaing-pesaing perusahaan. Mempertahankan kepuasan pelanggan dari waktu ke
waktu akan membina hubungan yang baik dengan pelanggan. Hal ini dapat
meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang.
Namun demikian, perusahaan harus berhati-hati agar tidak terjebak pada
keyakinan bahwa pelanggan harus dipuaskan tak peduli berapapun biayanya.
Tidak semua pelanggan memiliki nilai yang sama bagi perusahaan. Beberapa
pelanggan layak menerima perhatian dan pelayanan yang lebih dibandingkan
pelanggan lain. Ada pelanggan yang tidak akan pernah memberikan umpan balik
tak peduli berapa banyak perhatian yang kita berikan pada mereka, dan tak peduli
berapa puasnya mereka. Dengan demikian, antusiasme tentang kepuasan
pelanggan harus didukung oleh analisa-analisa yang tajam.
Beberapa penulis memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan.
Spreng et al. (1996) menyatakan bahwa perasaan puas pelanggan timbul ketika
konsumen membandingkan persepsi mereka mengenai kinerja produk atau jasa
56
dengan harapan mereka. Tse and Wilson (1988) menyatakan kepuasan dan
ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap ketidaksesuaian
(disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja
lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Lebih
jauh lagi Tse and Wilson (1988) menguraikan dua variabel utama yang
menentukan kepuasan pelanggan, yaitu expectations dan perceived performance.
Apabila perceived performance melebihi expectations maka pelanggan akan puas,
tetapi apabila sebaliknya maka pelanggan merasa tidak puas. Kotler and Keller
(2006:136), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau
kekecewaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan
dibandingkan dengan harapannya. Dari beberapa uraian tersebut dapat diketahui
bahwa kepuasan konsumen dihasilkan dari proses perbandingan antara kinerja
yang dirasakan dengan harapannya, yang menghasilkan disconfirmation paradigm.
Fornell et al. (1996) dalam temuannya menyebutkan bahwa (1) kepuasan
konsumen secara menyeluruh adalah hasil evaluasi dari pengalaman konsumsi
sekarang yang berasal dari keandalan dan standarisasi pelayanan; (2) kepuasan
konsumen secara menyeluruh adalah hasil perbandingan tingkat kepuasan dari
usaha yang sejenis, dan (3) bahwa kepuasan konsumen secara menyeluruh diukur
berdasarkan pengalaman dengan indikator harapan secara keseluruhan, harapan
yang berhubungan dengan kebiasaan, dan harapan yang berhubungan dengan
keterandalan jasa tersebut. Oliver and De Sarbo (1988) memandang tingkat
kepuasan (satisfaction) timbul karena adanya suatu transaksi khusus antara
produsen dengan konsumen yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan
57
ketika faktor emosi mendorong harapan (expectations) dan disesuaikan dengan
pengalaman mengkonsumsi sebelumnya (perception). Selain itu menurut Zeithaml
et al. (1996) kepuasan pelanggan merupakan perbandingan antara layanan yang
diharapkan (expectations) dengan kinerja (perceived performnce)
Selain teori expectacy disconfirmation model yang sudah dikenal, masih
ada beberapa teori tentang kepuasan yakni equity theory dan atribution theory.
Menurut teori equity, seseorang akan merasa puas bila rasio hasil (outcome) yang
diperolehnya dibandingkan dengan input yang digunakan, dirasakan fair atau adil.
Dengan kata lain, kepuasan terjadi apabila konsumen merasakan bahwa rasio hasil
terhadap inputnya (outcome dibandingkan dengan input) proporsional terhadap
rasio yang sama yang diperoleh orang lain (Oliver and De Sarbo, 1988),
sedangkan atribution theory berasal dari teori Weiner (1971) yang dikembangkan
oleh Oliver and De Sarbo (1988) dan Engel et al. (1990). Teori ini menyatakan
bahwa ada tiga dimensi yang menentukan keberhasilan atau kegagalan outcome,
sehingga dapat ditentukan apakah suatu pembelian memuaskan atau tidak
memuaskan. Ketiga dimensi tersebut adalah:
1. Stabilitas atau variabilitas. Apakah faktor penyebabnya sementara atau
permanen.
2. Locus of causality. Apakah penyebabnya berhubungan dengan konsumen
(external atribution) atau dengan pemasar (internal atribution). Internal
atribution seringkali dikaitkan dengan kemampuan dan usaha yang dilakukan
oleh pemasar, sedangkan external atribution dihubungkan dengan berbagai
58
teori seperti tingkat kesulitan suatu tugas (task difficulty) dan faktor
keberuntungan.
3. Controllability. Apakah penyebab tersebut berada dalam kendali ataukah
dihambat oleh faktor luar yang tidak dapat dipengaruhi.
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan
Menurut Zheithaml and Bitner (2003:87) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kepuasan pelanggan, antara lain:
1. Fitur produk dan jasa. Kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa secara
signifikan dipengaruhi oleh evaluasi pelanggan terhadap fitur produk atau jasa.
Untuk jasa perbankan, fitur yang penting meliputi karyawan yang sangat
membantu dan sopan, ruang transaksi yang nyaman, sarana pelayanan yang
menyenangkan, dan sebagainya. Dalam melakukan studi kepuasan, banyak
perusahaan menggunakan kelompok fokus untuk menentukan fitur dan atribut
penting dari jasa dan kemudian mengukur persepsi pelanggan terhadap fitur
tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa pelanggan jasa akan membuat
trade-off antara fitur jasa yang berbeda (misalnya, tingkat harga dengan
kualitas, atau dengan keramahan karyawan), tergantung pada tipe jasa yang
dievaluasi dan tingkat kekritisan jasa.
2. Emosi pelanggan. Emosi juga dapat mempengaruhi persepsi pelanggan
terhadap produk atau jasa. Emosi ini dapat stabil, seperti keadaan pikiran atau
perasaan atau kepuasan hidup. Pikiran atau perasaan pelanggan (good mood
atau bad mood) dapat mempengaruhi respon pelanggan terhadap jasa. Emosi
59
spesifik juga dapat disebabkan oleh pengalaman konsumsi, yang
mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap jasa. Emosi positif seperti
perasaan bahagia, senang, gembira akan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Sebaliknya, emosi negatif seperti kesedihan, duka, penyesalan dan kemarahan
dapat menurunkan tingkat kepuasan.
3. Atribusi untuk keberhasilan atau kegagalan jasa. Atribusi – penyebab yang
dirasakan dari suatu peristiwa – mempengaruhi persepsi dari kepuasan. Ketika
pelanggan dikejutkan dengan hasil (jasa lebih baik atau lebih buruk dari yang
diharapkan), pelanggan cenderung untuk melihat alasan, dan penilaian mereka
terhadap alasan dapat mempengaruhi kepuasan. Misalnya, ketika nasabah
gagal menarik uang dari ATM maka ia akan mencari alasan mengapa ATM
tidak dapat berfungsi. Apabila tidak berfungsinya ATM disebabkan oleh
matinya aliran listrik PLN maka hal ini tidak akan mempengaruhi
kepuasannya terhadap bank tertentu.
4. Persepsi terhadap kewajaran dan keadilan (equity and fairness). Kepuasan
pelanggan juga dipengaruhi oleh persepsi pelanggan terhadap kewajaran dan
keadilan. Pelanggan bertanya pada diri mereka: Apakah saya diperlakukan
secara baik dibandingkan dengan pelanggan lain? Apakah pelanggan lain
mendapat pelayanan yang lebih baik, harga yang lebih baik, atau kualitas jasa
yang lebih baik? Apakah saya membayar dengan harga yang wajar untuk jasa
yang saya beli? Dugaan mengenai equity dan fairness adalah penting bagi
persepsi kepuasan pelanggan terhadap produk atau jasa.
60
5. Pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan pelanggan juga
dipengaruhi oleh orang lain. Misalnya, kepuasan terhadap perjalanan liburan
keluarga adalah fenomena yang dinamis, dipengaruhi oleh reaksi dan ekspresi
oleh anggota keluarga selama liburan. Kemudian, apakah ekspresi kepuasan
atau ketidakpuasan anggota keluarga terhadap perjalanan dipengaruhi oleh
cerita yang diceritakan kembali diantara keluarga dan memori mengenai suatu
peristiwa.
Sedangkan menurut Garvin (dalam Kadir, 2001) faktor yang sering digunakan
untuk mengevaluasi kepuasan terhadap suatu produk antara lain, meliputi:
a. Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti (core
product ) yang dibeli.
b. Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yakni karakteristik sekunder
atau pelengkap
c. Kehandalan (reliability) yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kegagalan
atau kerusakan dalam penggunaannya.
d. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesifications), yaitu
sejauhmana karakteristik desain operasi memenuhi standar yang telah
ditetapkan sebelumnya.
e. Daya tahan (durability) yang berkaitan dengan berapa lama produk tersebut
dapat terus digunakan.
f. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, dan kemudahan
penggunaan, serta penanganan keluhan yang memuaskan.
g. Estetika, yakni daya tarik produk oleh panca indera.
61
h. Kualitas yang dipersepsikan, yakni citra dan reputasi produk serta
tanggungjawab perusahaan terhadapnya.
Untuk jasa yang tidak berwujud (intangible), konsumen umumnya
menggunakan atribut (Parasuraman et al., dalam Zeithaml and Bitner, 2003:93)
seperti berikut:
a. Reliability, yakni kemampuan untuk melakukan pelayanan yang dijanjikan
secara handal dan akurat.
b. Responsiveness, yaitu keinginan untuk membantu dan memberikan pelayanan
yang cepat kepada pelanggan
c. Assurance, yakni pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki karyawan
d. Empathy, yakni perhatian, pelayanan pribadi yang diberikan kepada
pelanggan.
e. Tangibles, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, personalia, dan bahan tertulis.
Para peneliti menyatakan bahwa atribut yang mempengaruhi kepuasan
pelanggan disesuaikan dengan produknya. Misalnya, untuk produk mobil, atribut
yang dipertimbangkan seperti, reliabilitas, serviceability, prestise, durability,
functionality, dan mudah digunakan. Sementara untuk makanan yang
dipertimbangkan misalnya rasa, kesegaran, aroma dan sebagainya ( Zeithaml and
Bitner, 2003).
62
2.1.9 Relationship Intention
Kumar et al. (2003) menyatakan bahwa: “Relationship intention as an
intention of customer to build a relationship with a firm while buying a product or
service attributed to a firm, a brand, and a channel.”
Pada saat pembelian awal, seorang konsumen membeli tanpa adanya relationship
intention, tetapi akan mengembangkan relationship intention berdasarkan equity
yang dirasakan pelanggan ada dalam perusahaan, merek, dan perantara. Menurut
Kumar et al. (2003) dan Barnes (2003:160) konstruk relationship intention adalah
suatu kontinum (Gambar 2.4). Satu sisi kontinum menunjukkan tidak adanya
relationship intention, sementara sisi yang lain menunjukkan tingkat relationship
intention yang tinggi.
Gambar 2.4 RELATIONSHIP INTENTION CONTINUM
Sumber: Kumar et al. (2003)
Apabila pelanggan tidak memiliki relationship intention, maka pelanggan
memiliki transactional intention yang bersifat jangka pendek dan pelanggan
memiliki sikap oportunistik. Tidak ada keinginan untuk membangun relationship
dengan perusahaan. Pelanggan dengan transactional intention membeli tanpa
keterlibatan atau membeli karena adanya paksaan. Pelanggan terpaksa membeli
mungkin karena adanya switching cost, harga yang rendah, trend, pengaruh sosial
atau karena hal lainnya. Pelanggan ini tidak tertarik atau tidak memiliki kedekatan
Transactional Intention
Relationship Intention
Degree of Relationship Low Intention High
63
emosional dengan perusahaan atau tidak memiliki komitmen dengan perusahaan.
Sebagai contoh pembelian coklat batangan dari sebuah mesin. Pelanggan ini dapat
pindah kapan saja jika situasi memungkinkan. Pelanggan ini tidak menambah nilai
bagi perusahaan dalam jangka panjang. Walaupun begitu tetap ada aspek positif
dari pelanggan ini yaitu mereka sangat membantu dalam menjaga bisnis tetap
berjalan. Jumlah pelanggan dengan transactional intention pada suatu perusahaan
umumnya lebih banyak.
Pada sisi lain, pelanggan dengan tingkat relationship intention yang tinggi
secara kuat ingin membangun relationship dengan perusahaan. Mereka tidak
terpaksa membeli. Sikap pelanggan seperti ini lebih bersifat jangka panjang dan
tidak bersifat oportunistik. Mereka bersedia membayar lebih mahal untuk dapat
menjalin hubungan dengan perusahaan. Pelanggan ini sangat tertarik dengan
perusahaan, memiliki kedekatan emosional dan sangat percaya dengan perusahaan.
Dalam jangka panjang, pelanggan ini secara signifikan menambah nilai bagi
perusahaan. Tetapi pelanggan ini biasanya hanya sebagian kecil dari pelanggan
perusahaan. Tantangan bagi perusahaan adalah mengidentifikasi pelanggan yang
sedikit ini secara benar dan mempertahankan relationship dengan mereka.
Pelanggan ini kecil kemungkinannya pindah ke perusahaan lain kecuali
kepercayaan dan kedekatan emosional mereka menurun. Ketidak stabilan jangka
pendek seperti kenyamanan atau harga tidak mempengaruhi pelanggan ini.
Misalnya, pelanggan yang memiliki tingkat relationship intention yang tinggi
terhadap suplier tertentu akan membuat segala upaya yang mungkin untuk dapat
membeli dari perusahaan tersebut.
64
Barnes (2003) menyatakan bahwa perusahaan sering beranggapan bahwa
mereka memiliki relationhsip dengan pelanggannya apabila pelanggannya
membeli produk atau jasa mereka secara teratur. Tetapi perusahaan harus
memahami perbedaan antara pembelian ulang dengan relationship intention.
Pelanggan ada yang melakukan pembelian ulang karena adanya kemudahan, harga
atau faktor non-emosi lain. Tetapi ada pelanggan yang kembali ke merek atau
perusahaan yang sama secara teratur karena mereka merasa ada yang istimewa
yang diberikan kepada mereka. Pada situasi ini, pelanggan sering merasa memiliki
ikatan emosional dengan perusahaan, sama dengan perasaan mereka terhadap
anggota keluarga, teman dan kolega. Pelanggan inilah yang memiliki keinginan
yang kuat untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan perusahaan
(relationship intention)
Menurut Kumar (2003), pengukuran Relationship Intention dapat dilakukan
dengan melihat:
1. Forgivingness. Seorang pelanggan yang ingin membangun relationship
dengan perusahaan secara umum bersedia memaafkan perusahaan walaupun
harapan tidak terpenuhi. Ini berarti, meskipun kadang-kadang harapan tidak
terpenuhi, pelanggan masih memberikan kesempatan lain bagi perusahaan
karena relationship lebih penting bagi pelanggan. Harapan yang tidak
dipenuhi bisa karena kualitas atau harga.
2. Feedback. Pelanggan dengan relationship intention yang tinggi akan
cenderung mengkomunikasikan harapan mereka kepada perusahaan dalam
bentuk umpan balik, apakah positif atau negatif tanpa mengharapkan imbalan.
65
Pada sisi lain, pelanggan yang tidak memiliki relationship intention juga dapat
mengirim umpan balik kepada perusahaan tetapi dalam bentuk umpan balik
yang negatif. Pelanggan ini juga mengharapkan imbalan atau payback. Jadi,
pelanggan yang bersedia memberikan umpan balik tanpa mengharapkan
imbalan, memiliki relationship intention yang tinggi.
3. Takut kehilangan relationship (Fear of relationship loss). Jika pelanggan
memperhatikan konsekuensi dari kehilangan relationship (dengan orang yang
ditemui ketika melakukan transaksi), pelanggan menunjukkan keinginan yang
tinggi untuk membangun relationship.
2.2 Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini dikemukakan beberapa penelitian terdahulu yang
mempunyai kedekatan dalam hal ruang lingkup dan beberapa variabel
penelitiannya dengan penelitian yang dilakukan ini.
2.2.1 Morgan and Hunt (1994).
Penelitian yang dilakukan berjudul The Commitment-Trust Theory of
Relationship Marketing. Pada penelitian ini kepercayaan dan komitmen
dimodelkan sebagai variabel antara yang menghubungkan variabel prekusor dari
kepercayaan dan komitmen dengan outcome dari kepercayaan dan komitmen.
Variabel prekusor terdiri dari relationship termination cost, relationship benefits,
shared value, communication, dan opportunistic behavior dan variabel outcome
terdiri dari acquiescence, propensity to leave, cooperation, functional conflict, dan
66
uncertainty. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dikirimkan
kepada anggota National tire dealers and Retraders Association (NTDRA) dalam
dua fase. Pada fase pertama kuesioner dikirim kepada presiden dari tujuh
perusahaan terbesar dari anggota NTDRA dan pada fase kedua dikirim kepada
dealer baru yang dipilih secara random..Besar sampel adalah 204.
Model konseptual dari penelitian ini seperti terlihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 THE KEY MEDIAING VARIABLE MODEL OF RELATIONSHIP
MARKETING
Sumber: Hunt and Morgan (1994)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Terdapat hubungan positif antara relationship termination cost dengan
relationship commitment
Relationship
Termination
Cost
Relationship
Benefit
Shared Value
Communication
Opportunistic
Behavior
Relationship
Commitment
Acquiescence
Propensity to
Consume
Cooperation
Functional
Conflict
Uncertainty
+
+
+
+
+
−
+
−
+
+
+
−
TRUST
67
b. Terdapat hubungan positif antara relationship benefit dengan relationship
commitment
c. Terdapat hubungan positif antara shared value dengan relationship
commitment
d. Terdapat hubungan positif antara shared value dan trust
e. Terdapat hubungan positp antara communication dan trust
f. Terdapat hubungan negatif antara opportunistic behavior dengan trust
g. Terdapat hubungan positif antrara relationship commitment dengan
acquiscense
h. Terdapat hubungan negatif antara relationship commitment dengan
propensity to leave
i. Terdapat hubungan positif antara relationship commitmet dengan
cooperation
j. Terdapat hubungan positif antara trust dan relationship commitment
k. Terdapat hubungan positif antara trust dan cooperation
l. Terdapat hubungan positif antra trust dan functional conflict
m. Terdapat hubungan negatif antara trust dan uncertainty
2.2.2 Garbarino and Johnson (1999)
Penelitian yang dilakukan berjudul The Different Roles of Satisfaction,
Trust, and Commitment in Customer Relationships. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat pengaruh komponen sikap yang meliputi actor satisfaction, actor
familiarity, play attitudes, dan teater attitudes terhadap kepuasan, kepercayaan dan
68
komitmen, serta melihat pengaruh kepercayaan dan komitmen terhadap future
intentions. Data dikumpulkan dari pelanggan professional nonprofit repertory
theater company di New York. Kuesioner dikirim kepada 250 subscriber saat ini,
375 kepada pengunjung yang tidak selalu menonton pertunjukan, dan 375 kepada
pembeli tiket individual. Kuesioner yang dikembalikan sebanyak 401 (response
rates 40%). Hipotesis diuji dengan Lisrel 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komponen sikap yang meliputi actor satisfaction, actor familiarity, play attitudes,
dan teater attitudes berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan,
kepuasan, dan komitmen. Namun tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
teater attitudes dengan kepercayaan dan komitmen, actor familiarity dengan
kepuasan, dan actor satisfaction dengan komitmen. Selain itu, penelitian juga
menunjukkan bahwa kepercayaan dan komitmen berpengaruh positif dan
signifikan terhadap future intention.
2.2.3 Hennig-Thurau et al. (2002)
Judul penelitian yang dilakukan adalah Understanding Relationship
Outcomes: An Integration of Relational Benefits and Relationship Quality. Tujuan
penelitian ini adalah mengintegrasikan penelitian pada relational benefit dan
relationship quality yang mempengaruhi relationship marketing outcomes
Penelitian dilakukan pada perusahaan jasa yang diklasifikasikan kedalam tiga
kategori yaitu: 1. Perusahaan jasa yang berhubungan langsung dengan pelanggan
dan memiliki high customer contact dengan pelanggan secara individual
(misalnya, konsultan keuangan, ahli medis, biro perjalanan, dan salon; 2.
69
Perusahaan jasa yang berhubungan dengan milik pelanggan dan memiliki
frekuensi tatap muka mulai dari yang rendah sampai moderat. Norma dan
penyesuaian jasa rendah (misalnya perbaikan sepatu, retail banking); 3. Jasa yang
langsung berhubungan dengan pelanggan dan memberikan jasa yang standar serta
memiliki moderat contact (misalnya, bioskop, perusahaan penerbangan, cafetaria)
Gambar 2.6 KERANGKA KONSEPTUAL HENNIG-THURAU ET AL
Sumber: Hennig Thurau et al. (2002)
Jumlah sampel dalam penelitan ini terdiri dari wanita sebanyak 173 orang
dan pria sebanyak 163 orang yang dikategorikan menjadi empat kelompok umur
yaitu: 19-29, 30-39, 40-49, dan lebih tua dari 50 tahun. Model konseptual dari
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Penelitian mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi relationship
marketing outcome. Variabel relationship marketing outcome adalah loyalitas dan
Confidence
benefit
Social
benefits
Special
Treatment
Benefits
Satisfaction
Commitment
Word of
mouth
Customer
loyalty
70
word of mouth. Variabel independen yang diteliti berhubungan dengan benefit
yang diterima pelanggan yaitu confidence benefit, social benefit, dan special
treatment benefit serta relationship quality yaitu kepuasan pelanggan dan
komitmen. Hasil penelitian memberikan dukungan pada model dan menunjukkan
bahwa konsep kepuasan pelanggan, komitmen, confidence benefit, dan social
benefit secara signifikan memberikan kontribusi pada relationship marketing
outcome pada perusahaan jasa.
2.2.4 Lacey (2003).
Judul penelitian yang dilakukan adalah “Customer Loyalty Programs:
Strategic Value to Relationship Marketing.” Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui peran program loyalitas dalam menarik dan mengembangkan loyalitas
pelanggan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana
dan seberapa besar program loyalitas mempengaruhi keinginan pelanggan untuk
selalu membeli produk dan jasa dari perusahaan dan keinginan pelanggan untuk
menjadi sumberdaya strategis bagi perusahaan. Variabel dalam penelitian ini
adalah economic content, resource content, social content, commitment, trust,
economic outcomes, resources outcomes, dan social outcomes. Penelitiaan ini
meneliti mengenai pengimplementasian strategi pemasaran relasional dalam
menciptakan loyalitas konsumen yang dilakukan oleh 60 perusahaan yang
menggunakan program loyalitas pelanggan. Perusahaan ini terdiri dari national
department store chain (n = 2620), international restaurant chain (n=639), dan
71
chemical manufacturer (n = 248). Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner. Model dianalisis dengan menggunakan Lisrel 8.3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel economic content, resource
content, dan social content berpengaruh signifikan pada commitment, trust dan
pada relational outcomes: economic outcomes, resource outcomes, dan social
outcomes. Penemuan juga menunjukkan dukungan pada para peneliti yang
menyatakan bahwa memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar nilai ekonomi
membuat pelanggan secara kuat komit untuk mempertahankan pemasaran
Economic Content
Economic Value
Switching Cost
Resource Content
Company Reputation
for Quality
Special Treatment
Confidence Benefit
Social Content
Communication
Familiarity
Shared Valued
Commitment
Trust
Economic Outcomes
Purchases Increases
Share of Customer
Marketing Support
Participation
Positive Word-of-
Mouth
Sharing of Personal
Information
Social Outcome
Customers’
Ease-of-Voice
Openness to Firm
Promotion
Gambar 2.7 FULL CUSTOMER LOYALTY PROGRAM
Sumber: Lacey (2003:46)
Resource Outcome
72
relasional. Penemuan dan analisis pada penelitian ini secara potensial dapat
berdampak pada bagaimana perusahaan mengalokasikan sumberdaya yang
terbatas untuk mendukung strategi pemasaran.
2.2.5 Kumar et al. (2003)
Judul penelitian yang dilakukan adalah “Antecedents and Consequences of
Relationship Intention: Implications for transaction and relationship marketing.”
Variabel yang diteliti adalah brand/product equity, firm equity, channel equity,
relationshhip intention, lifetime duration dan profitability pada lifetime duration
dan profitability. Kerangka konseptual yang diusulkan oleh Kumar et al. dapat
dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 KERANGKA KONSEPTUAL RELATIONSHIP INTENTION
Sumber: Kumar et al. (2003)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh brand/product
equity, firm equity dan channel equity terhadap relationship intention dan
pengaruh relationship intention. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Brand/product
Equity
Relationship
Intention
Lifetime
Duration
Profitability
Firm Equity
Channel Equity
73
brand/product equity, firm equity, dan channel equty berpengaruh signifikan
terhadap relationship intention dan relationship intention berpengaruh signifikan
pada lifetime duration dan profitability
2.2.6 Venetis and Ghauri (2004)
Penelitian yang dilakukan berjudul “Service Quality and Customer
Retention: Building Long-term relationships.” Kerangka konseptual penelitian
yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN VANETIS & GHAURI
Sumber: Vanetis and Ghauri (2004)
Relationship
Intentions
Affective
Commitment
Calculative
Commitment
Structural Bonds
Social bonds
Trust
Service Quality
Investment bonds
Switch bonds
Stuck bonds
Relationship
Commitment
74
Variabel yang diteliti adalah relational bonds (structural bonds, social
bonds), trust, service quality, relationship commitment dan relationship intention.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh relational bonds, trust dan service
quality pada komitmen dan relationship intention. Peneliti mengintegrasikan
literatur business-to-business marketing dengan literatur kualitas pelayanan untuk
mengembangkan model mengaitkan relationship commitment dan faktor lainnya.
Penelitian dilakukan melalui wawancara pada 241 perusahaan pada sektor
periklanan. Model diuji dengan menggunakan Lisrel 8. Hasil penelitian
menunjukkan:
1. Affective commitment dan calculative commitment berhubungan positif dan
signifikan dengan relationship intention.
2. Structural bonds, social bonds, trust dan service quality berhubngan positif
dan signifikan dengan affective commitment.
3. Stuck bonds berhubungan negatif dengan affective commitment Invesment
bonds, switch bonds, social bonds, service quality berhubungan positif dan
signifikan dengan calculative commitment
4. Stuck bonds dan trust berhubungan negatif dengan calculative commitment
2.2.7 Aaltonen (2004).
Penelitian yang dilakukan berjudul Customer Relationship Marketing and
Effects of Demographics and Technology on Customer Satisfaction and Loyalty in
Financial Services. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelanggan
75
yang menerima protokol customer relationship marketing merasa puas dan apakah
kepuasan itu menyebabkan pelanggan loyal. Variabel dalam penelitian ini adalah
protokol customer relationship marketing (CRM), faktor demografi, teknologi,
kepuasan dan loyalitas pelanggan. Faktor demografi yang diteliti meliputi jenis
kelamin, pendapatan, dan usia. Sedangkan teknologi meliputi ATM, voice response
Model CRM penelitian ini seperti terlihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 MODEL KONSEPTUAL PENELITIAN AALTONEN
Sumber: Aaltonen (2004:39)
Protokol CRM yang digunakan adalah:
1. Pelayanan prioritas meliputi call center yang dapat dihubungi 24 jam/hari, 7
hari/minggu.
CRM Overall
Satisfaction Loyalty
Satisfaction with ATM
Satisfaction with VRU
Gender,
Income, Age
Gender,
Income, Age
H1b
H1c
H1a
H3a
H4a
H5a
H3b
H4b
H5b
H2
76
2. Fee waivers yang lebih tinggi dari pada pelanggan non CRM
3. Special rates pada produk dan jasa tertentu
4. Meningkatkan fitur kartu kredit dan debet seperti credit lines yang lebih
tinggi, over-limit spending yang lebih tinggi.
5. Personalized guidance ketika memilih investasi dan produk dan jasa keuangan
lainnya.
6. Prosedur khusus ketika ada permasalahan
7. Prosedur aktivasi yang berbeda
Nasabah yang diteliti adalah nasabah kartu kredit dari perusahaan jasa
keuangan yang sudah menjalankan protokol CRM ini paling tidak satu tahun
sebelum penelitian dilakukan. Hipotesis diuji dengan menggunakan regresi
berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol CRM yang digunakan
tidak mempunyai pengaruh signifikan pada kepuasan menyeluruh dan loyalitas,
teknologi tidak mempunyai pengaruh siginifikan terhadap kepuasan menyeluruh
dan loyalitas, dan variabel demografi juga tidak mempunyai pengaruh signifikan
pada tingkat kepuasan menyeluruh dan loyalitas.
2.2.8 Boonajsevee (2005)
Penelitian yang dilakukan berjudul “Relationship Marketing Loyalty
Intentions in New Era of Thai Bank Marketing.” Penelitian berfokus pada
pertukaran yang saling menguntungkan dan pemenuhan janji yang menuju pada
customer retention, untuk pembelian ulang dan membangun trust dan loyalty
dalam relationship. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa luas
77
interaksi retail banks dengan para pelanggan mereka dilihat dari perspektif
pemasaran relasional, persepsi pelanggan mengenai kualitas pelayanan dan untuk
mengetahui apakah loyalitas pelanggan yang ada disebabkan karena implementasi
dari pemasaran relasional. Variabel eksogen yang diteliti adalah: relationship
benefits, komunikasi, service quality, relationship quality yang terdiri dari
kepuasan dan kepercayaan dan komitmen. Sedangkan variabel endogennya adalah
loyalitas pelanggan. Responden penelitian ini berjumlah 150 orang yang terdiri
dari bank officers dan nasabah dari lima bank yang berlokasi di Bangkok.
Nasabah yang diteliti adalah nasabah yang telah menggunakan kartu kredit
sekurang-kurangnya selama enam bulan. Model Konseptual dari penelitian ini
adalah seperti pada Gambar 2.11.
Hasil menunjukkan bahwa ketiga faktor : benefit, komunikasi, dan service
quality berpengaruh signifikan pada relationship quality. Studi juga menemukan
bahwa trust dan kepuasan sebagai component of relationship quality
Benefit
communication
Service Quality
Customer & bank
Officers Perceptions
Relationship Quality
• Trust
• Satisfaction
Commitment Loyalty
Service outcome
Gambar 2.11 MODEL KONSEPTUAL PENELITIAN BOONAJSEVEE
Sumber: Boonajsevee (2005:35)
78
mempengaruhi customer commitment. Jadi pelanggan yang komit menunjukkan
kemungkinan yang lebih besar tetap menjadi nasabah bank tertentu. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi Bank officers berbeda dengan
persepsi pelanggan terhadap benefit, komunikasi dan relationship quality. Studi ini
mengusulkan konsep kualitas relationship sebagai suatu strategi kepada eksekutif
Thai Bank untuk dipertimbangkan dalam pencapaian loyalitas pelanggan.
2.2.9 Zaid (2005)
Judul penelitian yang dilakukan adalah “Pengaruh Kemampuan Mengolah
Informasi terhadap Loyalitas Nasabah Bank Rakyat Indonesia di Sulawesi
Tenggara.” Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji dan membuktikan pengaruh
kemampuan mengolah informasi terhadap loyalitas nasabah Bank Rakyat
Indonesia di Sulawesi Selatan. Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah
kemampuan mengolah informasi. Sedangkan variabel endogen adalah persepsi
kualitas layanan, kepuasan nasabah dan loyalitas nasabah. Sampel dalam
penelitian ini adalah Nasabah Bank Rakyat Indonesia yang terdiri dari: nasabah
tabungan = 104 responden, nasabah deposito 40 responden dan nasabah giro = 56
responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
1. Kemampuan mengolah informasi berpengaruh positif dan signifikan
terhadap persepsi kualitas layanan
2. Persepsi kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah
79
3. Persepsi kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
loyalitas nasabah
4. Kepuasan nasabah berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas
nasabah